Tuesday, May 31, 2011

Wisata Sekolah

Setelah minggu lalu Bagas (7) berkunjung ke Bakkersmuseum (tempat pembuatan roti) di Oosterhout, sekarang giliran adiknya Sekar (4 tahun) kunjungan wisata ke Joepie, Breda. Acara ini adalah program tahunan dari sekolah. Bagi Sekar, inilah pengalaman berpergian seorang diri tanpa orang tuanya.


Mendung tebal dan hujan rintik sudah mengawal keberangkatan ke sekolah. Menurut perkiraan cuaca, hujan bakal mengguyur sepanjang hari dengan rentang suhu 8 – 14 derajat celcius. Cuaca ternyata semendung wajah para ibu yang ikut mengantar ke sekolah. Gimana mereka makan ? Bagaimana kalau di bis tiba-tiba ingin buang air ? Dingin nggak ya disana ? Sangat jamak jika pikiran itu melintas para ibu. Semua punya pengalaman sama, melepaskan anak pertama kalinya berangkat ke suatu tempat berjarak sekitar 36 km yang ditempuh dengan bis. Dan tentu saja tanpa didampingi orang tua.


Juf Paula, guru baik hati nan ramah berkali-kali meyakinkan sebagian ibu bahwa anak-anak akan baik-baik saja. Dengan tersenyum ia mengembalikan semua titipan makanan dan minuman dari orang tua. Karena sesuai dengan surat yang sudah dikirimkan, anak dilarang dibekali apapun. Semua hal sudah ditanggung beres oleh sekolah.


Meskipun bakal ada acara khusus, tapi pagi itu berjalan biasa. Kegiatannya seperti ini. Pukul 8.30 anak-anak masuk kelas dan bermain. Jam 8.45 lonceng dibunyikan sebagai tanda anak-anak menghentikan kegiatan bermain. Semua tangan kanan terangkat ke atas dan jari telunjuk tangan kiri diletakkan di mulut. Sebagai tanda mereka tidak boleh berisik. Selanjutnya tanpa bicara, guru dan anak-anak merapikan mainan dan kertas-kertas. Kemudian masing-masing anak membawa bangku masing-masing untuk dibentuk setengah lingkaran. Lalu mereka akan bernyanyi bersama. Saya mengintip dari balik jendela kaca dan tersenyum-senyum sendiri. Dalam hati saya selalu takjub, bocah-bocah umur 4 tahunan itu berisiknya luar biasa saat bermain. Tetapi bisa dengan duduk manis saat guru memberikan arahan.


Setelah diberikan penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilakukan, dengan berbaris rapi mereka keluar kelas menuju bis besar di parkiran. Orang tua dibolehkan berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan. Dan sesuai jadual, tanpa acara molor, berangkatlah bocah-bocah itu. Beberapa ibu terlihat matanya berkaca-kaca ketika bus sudah meninggalkan parkiran. Jam 3.45 mereka akan tiba kembali ke sekolah.


Saya pun jadi ingat bagaimana kegiatan wisata sekolah di Indonesia. Undangan berisi perincian biaya wisata yang dikirimkan ke rumah disertai tambahan note: bagi keluarga yang berminat ikut, dikenakan biaya sekian rupiah / orang. Dan ayah, ibu, kakak, adik, sampai nenek ikutan semua. Yang orang tuanya kerja, kadang diwakilkan oleh si mbak. Dan jadilah wisata sekolah menjadi wisata keluarga. Ramai, seru, tapi berisik juga ha ha. Orang tua yang tergabung dalam POMG pun tak kalah sibuk. Turut membantu mengurus transportasi, makanan, dll. Tak jarang keribetan mereka mengurus segala tetek bengek itu masih mendapatkan keluhan dari peserta misalnya bisnya tidak nyaman, makannya tidak enak, dan sebagainya.


Lain tempat lain budaya memang. Di Belanda, program wisata tidak ada pendampingan dari orang tua. Mereka belajar bagaimana menjadi team work. Satu kelas terbagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok harus bermain bersama dan saling mengingatkan jika anggotanya ada yang tidak kompak. Orang tua tidak perlu kuatir soal makanan. Makanan yang disediakan cukup dan tidak berlebihan. Itulah sebabnya mereka dilarang membawa makanan dari rumah. Kebersamaan, kemandirian, dan bersenang-senang, itulah inti dari program wisata di sekolah ini. Ah, saya tidak sabar menunggu Sekar pulang untuk mendengarkan cerita perjalanan wisatanya :)

Tuesday, May 3, 2011

Me, from the eyes of an American pal

Freedom to Choose

Choices in life can be difficult, and Danielle has had her fair share of them. After 13 years working in the Entertainment industry and hobnobbing with the rich and famous, Danielle has made the complex decision to settle down. In her own words, she has gone into “hibernation,” exchanging the bright lights and big city for rain and darkness in a small town south of Amsterdam. This departure has allowed her husband to focus on developing his career and Danielle to raise her two small children and dedicate herself to writing her debut novel.

Danielle is sitting in front of me; petite, composed, confident and direct. The story she just described is not unlike the situation countless other professional women in dual career households are faced with. But there is one other choice that makes her different. This is potentially a more risky choice than leaving a successful career and loving friends to move to a foreign land. Danielle has chosen to wear a hijab.

I come from a country that has declared a War Against Islam. Some extremists back home would have me believe that Danielle is dangerous – associated with terrorists - simply because she wears a soft, jade colored scarf around her head that is fastened with a small gold pendant.

I think that is ridiculous and it is easy for me to dismiss; I’m not surprised that my insular country would make ignorant stereotypes. But as I listened to Danielle in quiet astonishment, what was more difficult for me to accept is the realization that she is the first practicing Muslim I have ever discussed the purpose of this prominently worn scarf with. It made me wonder about my assumptions. And although I didn’t want to believe it, I not only had assumptions, but judgments, about why the scarves were worn. I believed they were used to demonstrate modesty and deference, and as a feminist, I couldn’t support it. But Danielle was about to firmly put my ignorant assumptions in their place.

Danielle happily explained to me why she chose to wear a hijab – and it was a decision she made later in life after she had children. In Danielle’s words, wearing a hijab is “a simple way to be who I am.” It is a way for her to remember to focus on her true, internal self and not the external, physical aspect of being human. Her hijab is a symbol of her commitment to improving and learning as she goes through the journey of life. It has nothing to do with silencing herself and everything to do with evolving into a stronger person.

As I looked at Danielle: Woman, Mother, Writer, Wife and Wearer of Hijab, I had a new found admiration for the scarf neatly tucked around her smiling, confident face. I now understood the very different meaning it has for her versus my uneducated assumptions and why this choice was crucial in supporting the accomplished woman sitting before me.

************************************************************

The piece above was written by Christy Mommsen during Writing nonfiction class in Amsterdam Writing Workshop in last March. Though the name was changed into Danielle, everybody knew who it was in the story, as I was the only one who wore hijab. It was Lisa Friedman, the teacher, who delivered the story so good that everybody was on silent, capturing word by word she read. And I couldn’t help to weep during that session :). Thank you Christy for your beautiful writing.

Today marks a year for me as hijab wearer. Life has been so remarkable. Meeting new people with varied and valued background is like tasting some flavors of ice cream rich with toppings on it. It is sweet, smooth, sometimes sour, yet I’m always tempted to lick it.

About the book that I write, Yes! finally it’s just done couple days ago. *yay*. I know there are so many roads to go to realize my dream. But at this moment, I just want to thank myself and enjoy this accomplishment. If I’m lucky, a publisher may be interested in publishing it. Or If it’s not, I will just keep it and present it to my children someday. So they will know that their mother, with joy and fear, putting word by word into a sentence. And sentence by sentence into a story.

Monday, May 2, 2011

De Grebbe

Mencicipi pendidikan di sekolah terbaik Belanda (bagian 2)


Ada yang berbeda di sekolah De Grebbe pada pagi hari, 1 April 2011 lalu. Bendera warna warni dan balon-balon dipasang di sepanjang sekolah. Musik riang dari ‘gerobak musik’ dipasang dengan volume kencang. Ada karpet merah yang dipasang dari halaman depan sekolah hingga mulut pintu masuk. Ada panggung kecil ditempatkan. Setiap murid yang datang disambut hangat oleh masing-masing wali kelas, dan dikalungi medali. Tampak sejumlah kamera dari stasiun TV sibuk mengabadikan gambar.

Semua guru, murid, dan orang tua yang mengantar, berkumpul disisi kanan kiri karpet. Dan tibalah acara pembukaan. Lia Vermaulen, sang kepala sekolah, memberikan sambutan. Hari itu De Grebbe merayakan kemenangannya sebagai “Sekolah Dasar Terbaik se-Belanda untuk tahun 2011”.

“Hieperdepiep hoera!,” teriak semua orang dan sorak sorai pun terdengar.

Dan piala berbentuk gajah dari tembaga pun diperlihatkan oleh sang kepala sekolah dengan bangga. Piala itu diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan Belanda sehari sebelumnya di Museum Nemo, Amsterdam. Dan hari itu semua orang berpesta. Mencicipi kue tart yang dibagikan ke seluruh murid, guru, bahkan orang tua yang hadir.

Eind maart heeft minister Van Bijsterveldt de tweejaarlijkse Nationale Onderwijsprijs uitgereikt. In het primair onderwijs is basisschool De Grebbe uit Bergen op Zoom winnaar. Om taalachterstand in te lopen besteedt De Grebbe veel extra tijd aan begrijpend lezen en rekenen, maar wordt tegelijkertijd ook iets gedaan aan het gebrek aan ervaringen van de leerlingen. De Grebbe, een bijna 100 procent ‘zwarte school’, maakt taal tot een levend begrip in praktische lessen. De aanpak is succesvol: de taalachterstand bij kinderen in groep 3 wordt binnen vijf jaar omgebogen naar een voorsprong, blijkt uit het inspectierapport. Dat levert het predicaat ‘excellente school’ op. Meer over de aanpak van De Grebbe is te lezen in Kader Primair 6 van februari 2011 (pag. 38). De prijswinnaar heeft de Bronzen Olifant en een bedrag van 7.000 euro ontvangen.

Penghargaan itu memang layak diperoleh oleh De Grebbe. Predikatnya sebagai Zwarte School (black school) karena mayoritas muridnya adalah anak imigran dipatahkan oleh kenyataan akan prestasi yang diraih oleh murid-muridnya. Seperti yang saya tulis di note sebelumnya, bahwa murid-murid De Grebbe adalah multikultur : Turki, Maroko, Bulgaria, Yugoslavia, Polandia, Bosnia, Afganistan, Somalia, Vietnam, Thailand, Ghana. Orang Belanda asli hanyalah minoritas. Bahkan beberapa adalah anak asli Belanda yang bersekolah disini adalah anak berkebutuhan khusus.

Zwarte school, julukan itu sempat mencubit hati saya. Saya kira itu hanya julukan informal yang beredar dari mulut ke mulut. Hingga di koran saya temukan bahwa tanpa tedeng aling-aling mereka sebut sekolah itu sebagai zwarte school. Dalam gambaran saya, zwarte school tak ubahnya seorang zwarte piet (piet hitam) yang membantu Sinterklaas yang dicitrakan sebagai orang kaukasia,memanggul hadiah di bulan desember. Belakangan, nama zwarte sudah dihilangkan. Sehingga cukup disebut sebagai Piet saja. Karena ada unsur sara didalamnya.

Saya pun ‘protes.’ Tidak adakah julukan yang lebih baik dari Zwarte School. Misalnya dengan menyebutnya multikultur ? Tapi ya sudahlah. Protes saya hilang seperti asap ketika kemudian menyadari bahwa sebagus apapun propaganda akan pentingnya kesetaraan, tetap saja seorang imigran tetaplah imigran. Dan posisi terjauh yang bisa diraih adalah sebagai warga kelas dua.

Tapi julukan itu tidak lantas memburamkan kejernihan sekolah ini dalam mengemban tugas memberikan pendidikan terbaik dan setara buat murid-muridnya. Mengajar anak-anak multikultur itu bukan tugas yang mudah. Bahasa sudah tentu menjadi kendala. Tak jarang latar belakang sosial budaya dari negara asal anak tersebut turut mempengaruhi kestabilan psikologi anak yang bersangkutan.

Tetapi sekolah ini berhasil mengembangkan metode pelajaran sedemikian rupa, sehingga anak-anak tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Belanda. Bahkan pada akhirnya kemampuan berbahasanya bisa menyaingi murid-murid di sekolah lain yang notabene warga asli Belanda. Lebih membanggakan lagi prestasi dalam mata pelajaran lain pun diatas rata-rata.

Berdasarkan pengalaman apa yang didapat oleh anak saya, Bagas (7 tahun), secara berkala ia dibawa ke ruang khusus. Dan disana bersama beberapa teman lain yang selevel dengan dirinya, diberikan tambahan pelajaran bahasa secara khusus. Dari sini anak-anak dipantau.

Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar saja. Mereka juga bertindak sebagai konseptor dalam mengembangkan metode pendidikan baru. Dan semuanya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari sekolah. Tidak berarti segala program itu berjalan tanpa kendala. Anggaran menjadi tantangan. Krisis ekonomi dunia turut merubah kebijaksanaan negara-negara di Eropa. Diantaranya anggaran pendidikan mengecil. Sementara pihak sekolah harus tetap putar otak untuk tetap menjadi institusi yang berkompeten.

Saya sungguh salut kepada Lia Vermeulen, kepala sekolah, sebagai garda depan membawa guru-gurunya berkomitmen tinggi mewujudkan kurikulum pendidikan hasil pengembangan sendiri. Perempuan rapi nan chic berusia paruh baya ini padahal mengepalai juga sekolah lain. Tetapi disela kesibukan waktunya, ia masih menyempatkan diri untuk setiap pagi di hari tertentu berdiri di depan pintu gerbang. Menyapa setiap murid dan orang tua yang datang dengan senyum ramah. Berbincang sebentar dengan orang tua. Kadang ia juga mengundang orang tua untuk bertemu, mengobrol dalam satu jamuan kopi dan teh yang santai di sore hari. Membagikan pengalaman apa yang dia punya, kendala apa yang sedang ia hadapi, dan masukan apa dari orang tua. Ia tekun mendengarkan sambil tangannya tetap membuat catatan.

Kekaguman saya pada perempuan itu juga muncul ketika ia ikut bergabung bersama wali murid dalam sesi membaca bersama di grup 3. Berhubungan kekurangan tenaga untuk membacakan buku, ia sendiri turut terlibat. Acara ini ditutup dengan makan bersama. Dan tak segan ia berdiri, menata gelas, dan menuangkan kopi, dan menyajikannya kepada setiap wali murid. Jabatannya sebagai kepala sekolah tidak lantas menghalangi dirinya untuk mempunyai jiwa melayani. Ini tentu saja menjadi contoh langsung guru-guru yang dipimpinnya. Tak heran jika para guru dan orang tua menaruh rasa hormat kepadanya.

Dengan penghargaan tersebut, sekolah berhak membawa hadiah sebesar 7000 euro. Dan hadiah itu langsung direalisasikan untuk membangun kelas baru dan fasilitas bermain di halaman.

Dan akhirnya, mencicipi pendidikan di sekolah terbaik belanda ini memberikan pengalaman luar biasa buat anak-anak dan saya. Saya percaya, setiap anak adalah anugerah dan mempunyai keunikan masing-masing. Mereka adalah jiwa-jiwa murni yang hadir tanpa sekat warna kulit, latar belakang agama, dan sosial ekonomi. Dan yang pasti, tidak pernah ada prejudice diantara mereka. Dengan bekal pendidikan yang tepat, diharapkan setiap anak bisa membawa dirinya menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dan syukur-syukur menjadi manfaat buat sesama.

Tulisan ini secara kebetulan saya unggah bersamaan dengan hari pendidikan di Indonesia. Tidak ada maksud untuk membanding-bandingkan antara pendidikan di Belanda dan Indonesia. Kita tahu caruk marut wajah pendidikan di Indonesia. Tetapi kita juga tahu, masih ada mutiara-mutiara indah yaitu guru-guru yang tetap berdedikasi tinggi menyumbangkan ilmunya tanpa kenal lelah, meskipun tanpa penghargaan setimpal. Teriring salam takzim kepada guru-guru guru di seluruh tanah air.

Mencicipi pendidikan di sekolah terbaik Belanda (bagian 1)




Tahukah Anda dengan Geert Wilders ? Yup, dia tak lain dan tak bukan adalah politikus Belanda yang dikenal anti Islam. Pernyataan dan sikap politikus yang masih punya darah Indonesia itu selalu bikin gerah lawan politiknya. Juga membuat panas para imigran Belanda yang datang dari kalangan muslim. Lantas apa hubungannya Geert Wilders dengan tulisan yang saya buat.

Islamophobia yang dikibarkan oleh Geert Wilders itu menjadi angin lalu ketika kita menengok sebuah sekolah yang terletak di kota kecil di selatan Belanda. De Grebbe, namanya. Ya, disitulah anak-anak saya mengecap pendidikan.

Pertimbangan saya memasukkan anak-anak kesana semata karena sekolah tersebut dekat dari rumah. Ketika pertama kali mendaftar, saya ditemui oleh kepala sekolah. Diberikan formulir berupa isian panjang seperti latar belakang pendidikan yang sudah ditempuh anak, apakah ada alergi terhadap makanan tertentu, nama dokter keluarga (semua keluarga wajib mempunyai dokter keluarga alias huisarts disini karena tindakan pertama kesehatan dilakukan oleh dokter tsb). Juga tak kalah penting adalah pernyataan persetujuan dari orang tua jika foto/gambar anaknya dimuat di situs resmi sekolah. Bagaimana dengan biaya pendidikan ? Cukup hanya membayar biaya sekolah sebesar 17,50 setahun. Yang dibayarnya beberapa bulan kemudian. Sungguh berbeda ya dengan mendaftarkan anak sekolah di Indonesia, karena sebelum mengisi formulir, yang disodori pertama adalah biaya masuk. Dimana hal itu menjadi indikasi utama apakah anak memenuhi syarat untuk masuk sekolah tsb.

Formulir yang saya isi itu nantinya akan diteruskan oleh sekolah ke pihak Gemente (pemerintah setempat). Sehingga Gemente bisa memantau dimana dan bagaimana anak tsb bersekolah. Kemudian saya diajak berkeliling sekolah sambil berbincang dengan guru masing-masing. Disini baru saya paham bahwa ada kekhasan disekolah ini dibandingkan sekolah-sekolah umum lainnya. Yaitu sebagian besar muridnya adalah anak-anak imigran. Mereka berasal dari Turki, Maroko, Bulgaria, Yugoslavia, Polandia, Bosnia, Afganistan, Somalia, Vietnam, Thailand, Ghana. Dan kini semakin berwarna dengan masuk anak Indonesia disini. Anak-anak keturunan asli Belanda sendiri dapat dihitung dengan jari. Mayoritas murid disini adalah muslim.

Pendidikan di Belanda menganut sistem kesetaraan. Dimana sistem sekolah diterapkan serempak di seantero Belanda. Meskipun masing-masing sekolah masih mempunyai kebebasan untuk mengembangkan metode pendidikan sendiri. Hampir sebagian besar orang disini menikmati sekolah umum. Karena sekolah swasta mahalnya minta ampun. Dan memang tidak perlu. Karena sekolah umum pun sudah menjadi jaminan untuk memperoleh pendidikan yang bagus. Konon keluarga kerajaan Belanda sendiri menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum.

Wajib sekolah berlaku ketika anak masuk usia 5 tahun. Tetapi pada prakteknya rata-rata sudah bersekolah saat anak usia 4 tahun. Mereka akan masuk di grup 1. Atau setara dengan TK A. Jenjang di sekolah dasar adalah dari grup 1 – grup 8. Dimana pelajaran dasar membaca, menulis, dan hitungan sederhana diberikan pada grup 3 (setara kelas 1).

Jam sekolah berlangsung dari jarm 9.30 – 15.45. Ada istirahat pertama pukul 10.00. Dan istirahat makan siang pukul 12.00 – 13.30. Mulai grup 4 jam makan siang dari jam 12.00 – 13.00. Ada dua pilihan untuk makan siang. Membawa bekal dan makan disekolah yang disebut sebagai overblijven. Dimana setiap anak dikenakan biaya 1,30 euro sebagai ongkos petugas menjaga mereka saat makan siang. Atau makan dirumah. Jadi orang tua wajib menjemput dan mengantar kembali sesuai waktu yang ditentukan. Sebagai orang Indonesia yang wajib makan nasi dan sayur serta lauk hangat, maka saya sudah pasti membawa anak-anak pulang untuk makan siang. Kecuali kalau ada keperluan mendesak, sehingga anak-anak harus overblijven dengan bekal setangkup roti.

Anak saya yang pertama Bagas (7 tahun) masuk ke grup 3. Sedangkan Sekar (4 tahun) masuk ke grup 1. Di grup 3 itulah Bagas belajar matematika dasar (hitungan angka hanya 1 – 20), bahasa Belanda. Juga kreasi macam-macam. Pendek kata metode sekolah ini tidak memberatkan anak-anak dengan PR dan hafalan. Sangat jauh berbeda dengan di Indonesia tentunya. Mereka berangkat tanpa dibebani buku-buku yang menggunung di punggung. Semua buku, peralatan tulis sudah disediakan lengkap oleh pihak sekolah. Pelajaran lain juga adalah adalah ketrampilan fisik. Seminggu sekali mereka akan dibawa ke Gymnasium dengan bis. Lagi-lagi, bis dan semua keperluan sudah tersedia secara gratis.

Dari semua pelajaran, yang saya amati adalah keutamaan dalam menghargai waktu. Harus angkat jempol Belanda sangat disiplin soal waktu. Juga kerapihan mengatur segala hal secara sistematis dan efisien. Tidak ada anak masuk sekolah gedubrak gedubruk. Semua harus dalam antrian rapi. Murid yang membantu merapikan meja dan kursi. Buku-buku yang tertata sesuai urutan. Selasar sekolah yang bersih dan dihiasi oleh hasil karya murid-murid. Jarang ada miskomunikasi antara guru dan orang tua karena segala informasi sudah dibagikan dalam surat yang teratur dikirimkan. Update informasi apa saja yang dilakukan sekolah, bahkan siapa saja murid yang berulang tahun tertera semua di lembar informasi.

Hal menarik yang tak kalah penting juga adalah bagaimana komunikasi yang terjalin antara guru dan murid. Terlihat hubungan antara guru dan murid tidak berjarak. Mereka bisa bermain dengan bebas dengan tetap menghormati satu sama lain. Kontak mata adalah hal utama berkomunikasi. Seorang guru akan dengan tekun memperhatikan dengan seksama apa yang seorang murid tanyakan. Tidak ada yang menyela ketika dua orang sedang berkomunikasi.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan. Tetapi setidaknya itulah sedikit gambaran bagaimana mencicipi sekolah dasar di Belanda. Lantas bagaimana sekolah ini mendapatkan penghargaan sebagai Sekolah Terbaik se Belanda untuk tahun 2011.

Simak kelanjutannya dalam note berikutnya.

Saturday, April 30, 2011

Becoming A Dutch Lady Word By Word

Di negeri kincir angin, musim selalu berubah. Hanya satu yang tetap dan rasanya butuh waktu yang panjang untuk berubah, yaitu kemampuan berbahasa belanda saya. Saya datang ketika orang-orang masih berbusana minim dan memakai sunglasses. Hingga kini, semua orang membalut dirinya dengan jaket tebal dan menutup rapat kepala dan lehernya. Dan kemajuan berbahasa saya nyaris jalan ditempat. Kalau guru bahasa saya membaca notes ini, pasti beliau akan mengelus dada dengan prihatin.


Kamu serius mau belajar bahasa Belanda?” tanya seorang teman saya yang asli belanda.Bahasa belanda itu hanya dipakai tidak lebih dari 20 juta orang di dunia lho!” katanya lagi ketika tahu saya bersemangat di awal-awal kedatangan untuk belajar.


Ini orang bukannya senang bahasanya dipelajari orang lain, eh malah bikin ngedrop semangat saja. Batin saya.


“Kalau jago berbahasa belanda, siapa tahu saya menemukan kode-kode rahasia yang dibuat oleh VOC disuatu pulau di Indonesia. Dan disitu tersimpan harta karun,” jawab saya dengan nyengir.


Sayang semangat saya benar-benar kandas. Mungkin karena resesi, pemerintah belanda kini membatasi orang yang berhak mendapatkan inburgeringcursus (pendidikan integrasi berkaitan dengan bahasa dan budaya lokal). Peserta adalah warga asing yang berniat tinggal di Belanda minimal 10 tahun.


Untuk mengambil kursus di lembaga swasta saya urungkan setelah disodori angka biaya kursus yang bikin bola mata nyaris meloncat. Akhirnya saya mempelajari bahasa belanda itu sendiri melalui internet dan buku-buku bekal dari Jakarta. Belajar sendiri itu butuh komitmen besar. Jujur saja, waktu yang ada banyak terbuang untuk urusan remeh temeh di media social network. Hasilnya, ya gitu deh…. bahasa belanda saya tetap minim.


Ucapan standar seperti selamat pagi, siang, malam atau sekedar menanyakan kabar pastinya sudah khatam. Satu hal lagi, ada dua kata yang fasih saya ucapan. Echt Waar?! Itu adalah ekspresi paling umum dari orang-orang belanda. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul anak Jakarta kurang lebih menjadi, Ah yang bener cyiin ?!”


Karena anak-anak saya masuk di sekolah umum belanda, mau tidak mau saya harus memakai bahasa belanda untuk berkomunikasi dengan guru dan orang tua murid. Susah payah saya merangkai kata per kata yang pada akhirnya pembicaraan pun berujung menjadi Denglish (Dutch English), gado gado antara bahasa belanda dan Inggris. Namun secara perlahan otak, telinga, dan mulut saya mulai sinkron untuk menyerap kata-kata asing itu.


Yang membuat saya surprise adalah kemajuan bahasa anak pertama saya, Bagas (7 tahun). Benar kata orang, anak-anak itu seperti spon, menyerap apa saja termasuk bahasa yang baru ia kenal. Bahkan saya belajar banyak dari dia. Kata-kata seperti rode, roze, reus, bisa saya ulang-ulang dibawah supervisi dia he he he. Dia juga membetulkan cara pengucapan huruf G yang benar. Mulut dibuka, pastikan suara tidak bergetar. Bunyikan dengan lidah diletakkan di ujung rongga atas. Maka yang keluar adalah bunyi g yang halus. Saya baru tahu itulah kenapa orang-orang Indonesia jaman angkatan 45 akan bicara dengan g yang halus. Mungkin karena pengaruh kolonial.

PR juga bagi saya untuk mengucapkan huruf R dengan lidah bagian tengah yang bergetar. Pokoknya puyeng deh.


Di sekolah, setiap hari jumat adalah hari membaca. Maka orang tua akan masuk kelas dan membacakan buku buat anak-anaknya. Saya pun membaca dengan terbata-bata, sampai seorang ibu di sebelah saya memperhatikan dengan tersenyum. Setelah tahu kenapa alasan saya tidak ambil inburgeringcursus, maka dia menawari saya untuk bergabung dengan satu organisasi yang menawarkan kursus murah. Hanya bayar 10 euro setahun. Tentu saja saya tidak lewatkan kesempatan itu.


Lembaga itu dikelola oleh para perempuan Belanda secara suka rela. Lokasinya 20 menit dari rumah dengan kayuhan sepeda. Ada beberapa kelas sesuai tingkat kemampuan muridnya. Lembaga ini punya fasilitas lab bahasa yang bagus. Ada satu ruangan yang didedikasikan untuk tempat bermain anak, lengkap dengan opas alias penjaganya. Tentunya ini satu kemewahan buat ibu-ibu. Mereka bisa meninggalkan anaknya dengan tenang untuk belajar. Yang menarik juga adalah di musim panas ada program belajar naik sepeda. Karena sepeda adalah moda transportasi penting di Belanda.


Saya dimasukkan dalam kelas dasar. Jadualnya seminggu tiga kali, setiap hari senin, selasa, dan Jumat. Dari jam 9.15 – 11.30. Meski biayanya murah, pengajar sudah wanti-wanti diawal agar muridnya serius, dan jangan coba-coba untuk datang telat. Satu pelajaran penting hidup di Belanda, disiplin tinggi. Terlambat 5 menit saja sudah masuk kategori dosa besar. Kita tidak diijinkan untuk masuk kelas sampai sesi berikutnya.


Dan di kelas itulah saya bergabung dengan perempuan dari berbagai bangsa. Turki, Maroko, Suriname, Ghana. Umurnya beragam dari yang masih muda hingga ibu-ibu. Yang mengesankan adalah semangat dari ibu-ibu yang sudah berumur itu untuk belajar.

Seorang ibu maroko berkerudung yang saya taksir usianya 50 tahun dengan terbata-bata mengeja kata per kata. Suaranya kurang jelas, lebih banyak bergumam seperti haba..haba..haba. Setelah bacaanya selesai, tampak kelegaan diwajahnya. “Heel moelijk…Masya Allah…Ya Rabbi…Ya Rasullulah…” ucapnya tak putus-putus.


Tidak mudah memang untuk mempelajari bahasa asing untuk orang yang sudah kasep dimana lidah sudah tidak lentur, dan otak sudah tidak seperti spon. Tapi selama masih ada semangat, pasti ada jalan.


For me, becoming a dutch lady word by word is such a long road. Yet it’s fun.


PS: Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku berjudul Becoming Italian Word by Word, karya Dianne Hales, yang menceritakan pengalamanya sebagai orang Amerika mempelajari bahasa italia.

Wednesday, April 27, 2011

Mimpi kami sudah diantar


Mimpi kami sudah diantar minggu lalu, tepatnya kamis siang 23 November tepat jam 12 kurang seperempat. Datang dengan ditandai ketukan lewat jendela kaca pintu dapur. Awalnya pelan. Tak lama ketukannya semakin intens. Berirama. Tap..tap..tap. Ho ho ho mimpi kami akhirnya datang rupanya. Lonjak saya riang dalam hati.

Mimpi itu berupa butiran es yang dingin, sedikit panas jika digenggam lama di tangan. Mirip serutan es yang dijual abang-abang es teler. Wet snow. Masih kasar dan kandungan airnya banyak. Tidak mudah untuk dibentuk. Butiran itulah yang menempel di pintu kaca. Membuat kaca menjadi buram.

Selanjutnya hari-hari berlalu tanpa si serbuk putih. Hanya angin dingin yang mengersik. Dinginnya menampar kedua pelah pipi hingga kemerahan. Kiranya kapan akan datang lagi ? Saya tak henti menengok si penebak cuaca. Berharap adanya berita bagus tentang si serbuk putih.
“Tunggulah senin malam. Sekitar jam 8 malam,” kata penebak cuaca.
“Benarkah ?” Kata saya dengan harap cemas.
“Selama ini kau percaya kepadaku kan ?” Jawab penebak cuaca dengan tersenyum.

Dan memang dia tidak pernah ingkar janji. Senin malam, saat jam menunjukkan suhu minus 8 derajat celcius, serbuk putih datang lagi. Mendarat di atas atap-atap mobil yang diparkir dipinggir jalan. Meninggalkan warna putih dengan kilau kuning karena terpendar lampu jalan.

Saya buka pintu belakang. Semua halaman sudah diselimuti serbuk putih. Anak-anak berlonjak kegirangan. Saya ikutan juga. Kami raup serbuk putih dalam tangan. Ringan dan lembut. Kami buat bulatan kecil-kecil. Inilah salju yang sebenarnya.

Kami buka jendela kamar atas. Serbuk putih itu menempel di kisi-kisi jendela luar. Kembali anak-anak berlonjakan. Meraupnya dengan kedua tangan. Ups, terlalu banyak, sehingga sebagian berceceran. Lantai karpet pun menjadi basah.

Dan paginya, saat kami buka tirai jendela. Atap-atap rumah sudah dibingkai warna putih. Demikian juga jalanan. Tak terkecuali pohon-pohon Tilia.

Dan sore itu, sepulang dari sekolah, anak-anak berlonjakan tak henti. Kali ini di lapangan bermain. Mereka meraupnya sebanyak yang mereka bisa. Membentuknya bulat-bulat. Dan saling bertimpukan. Perang salju.

Saya tersenyum. Betapa mereka, anak-anak itu, telah lupa dengan apa yang mereka rindukan. Rindu pada dekapan hangat sang nenek yang welas asih. Pada teman-teman sepermainan. Pada ikan-ikan yang kini sudah dilepas di kali dekat rumah. Pada burung gelatik belong yang hingga kini belum juga bertelur. Pada pasar kaget hari minggu tempat mereka beli ikan dan balon gelembung. Pada pohon mangga depan rumah yang entah kenapa tahun ini tidak berbuah. Pada sepeda-sepeda mereka yang kini mungkin agak berkarat. Pada semua yang ditinggalkan di sana, di kampung Anggrek. Kerinduan mereka sudah ditukar dengan mimpi. Mimpi tentang negeri yang dituang salju setiap musim dingin. Dan mimpi itu kini sudah ada digenggaman mereka.

Akankah Sinterklaas mampir ke rumah ?

Desember belum tiba tapi keriuhan kedatangan Sinterklaas dan Zwarte Piet (Piet Hitam) sudah bertebaran dimana-mana. Di sudut kota sudah terlihat remaja-remaja dengan muka bercat hitam membawa karung. Membagikan pepernoot, kue rasa kayumanis berbentuk bulat-bulat seperti kancing kepada anak-anak kecil.

Dan ini sedikit obrolan tentang Sinterklaas.

“Mama, Sinterklaas itu beneran ada ga sih”. Mukanya serius.
“ Hmmm…anak-anak sih percaya”.
"Katanya Sinterklaas sama Zwarte Piet datang dari Spanyol ?"
(Duh, ada yang bisa bantu ga ? ) " Iya mungkin”.
"Datangnya naik stoomboot, kata Juf ." (Juf adalah sebutan guru disekolah)
"Jauhan mana Spanyol sama Depok kalau mau ke Belanda?" Kali ini giliran Sekar yang tanya.
"Depok dong. Kan musti naik pesawat dulu. Belum nyambung lagi naik mobil atau taxi dari bandara."
"Sinterklass baik ya ? Katanya bagi-bagi hadiah".
"Iya."
"Tapi Bagas sama Sekar nanti nggak dibagiin hadiah ?"
"Lho emang kenapa ?"
"Kita kan orang Islam."
(Nah lho…) Emang kenapa ?
"Nanti Sinterklaas pas datang ke rumah, lihat Bagas lagi sholat ga jadi dibagiin hadiah."
Saya tertawa.
"Iya nggak Ma ?"
"Nggak. Sinterklaas itu baik sama semua anak. Dan akan membagi hadiah buat anak yang baik."
"Kamu mau dapat hadiah ga ?"
"Iya"
"Ya, sholatnya jangan bolong-bolong."
(Setiap satu kali sholat, saya beri reward satu stiker. Kemudian stiker dikumpulin untuk ditukar mainan).
“Ok deh!” Kali ini sambil tersenyum lebar.

Dan menyanyilah kedua bocah itu dengan riang:
Sinterklaas kapoentje
gooi wat in m'n schoentje
gooi wat in m'n laarsje
dank u Sinterklaasje.

Demikianlah. Sinterklaas dan Zwarte Piet menjadi tokoh baru yang dikenal Bagas dan Sekar, setelah: Power Ranger, Si Bolang, Unyil, dan Ipin Upin.

Semusim Sudah




Betapa waktu setia berputar sejalan dengan rangkaian layar kehidupan.

Beberapa waktu lalu saya mendapati ruangan kamar tidur yang semerbak wangi. Segar dan lembut. Wewangian itu bersumber dari kuntum-kuntum bunga dari pohon tilia atau orang setempatnya menyebutnya sebagai pohon Linden yang ada disepanjang jalan di rumah kami. Pohon itu menjangkau hingga lantai tiga, tepat di depan jendela kamar kami. Bunganya berwarna hijau pupus, berbulir-bulir. Jika merekah wanginya bisa bertahan beberapa hari meski sudah kering. Kadang sekuntum dua kuntum bunga itu diterbangkan angin, masuk ke jendela kecil kami. Menelusup dalam bantal.

Kini bunga-bunga itu nyaris tidak ada. Kalaupun tersisa, tinggal berupa kuntum yang sudah layu berwarna cokelat. Daun-daun tilia yang berbentuk hati, yang semula berwarna hijau lemon, pun sudah kuyu, kuning kecokelatan.

Bergerak beberapa langkah kaki dari rumah, saya mendapati rimbun pohon-pohon oak yang juga bernasib serupa. Sebagian kuning, sebagian besar lagi cokelat. Kering kerontang. Berserak ditanah. Saat pulang sekolah, saya dan anak-anak kadang memunguti biji-bijinya yang mirip biji melinjo dalam ukuran lebih besar. Kami pilih beberapa biji dengan pecahan terbaik. Kalau beruntung, kami bisa membuatnya menjadi peluit yang nyaring bunyinya.

Sementara itu deretan pohon maple bertransformasi dalam gradasi warna yang beragam. Hijau, kuning, cokelat, cokelat kemerahan, merah tua. Berselang seling. Ah sungguh kata-kata saya terbatas untuk menerangkan keindahaannya. Daun-daun itu pun berserakan dijalan. Ketika kaki melangkah diatasnya, serasa berjalan di permadani daun. Tebal dan empuk.

Musim gugur menorehkan warna tersendiri bagi saya. Keindahannya yang tersaji dari aneka warna pepohonannya memang tidak terelakkan. Tapi disaat yang sama, musim ini menjadi semacam refleksi akan proses hidup. Aging, menua, kemudian pasrah untuk akhirnya bersatu dengan tanah.

Bagaimana gelapnya malam menyergap denyut hidup sang hijau daun. Memerasnya habis hingga tak bersisa. Meninggalkan daunnya yang lemah terkatung-katung di ranting pohon. Hingga angin menerbangkannya. Atau menggugurkannya hingga menjadi remah di tanah. Tak ada lebah yang mencicipi nektar kuntum-kuntum tilia. Tidak ada burung-burung kecil yang mencucuki pokok-pokoknya yang kini sudah pucat. Burung-burung itu sudah bermigrasi. Nun disana. Tempat dimana kehangatan hadir diantara mereka. Kini pohon tilia tinggal ranting-rantingnya yang ringkih saat ditiup angin. Dingin dan sepi.

Ah sudahlah..saya kok jadi mellow. Ketika Sang Pemilik Kehidupan berkehendak akan gugurnya sehelai daun, tentunya mudah bagiNya untuk menumbuhkan daun-daun berikutnya. Di musim yang berbeda.