Sunday, October 5, 2014

Ngapain Masih Muda Sudah Mikirin Naik Haji.(Catatan Perjalanan Haji Bag.1)


Berhaji bagi saya adalah urusan kesekian. Pertama, karena saya masih muda. Ngapain harus melakukan ibadah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua. Kedua, kalau ada uang lebih, akan bermanfaat jika ditanam sebagai investasi, masukin reksadana, tabungan pendidikan, beli tanah, atau apalah yang intinya untuk kebutuhan masa depan. Ketiga, ini ibadah yang memakan waktu panjang, sekitar 41 hari. Kalau anak-anak ditinggal lama, siapa yang jagain ? Belum mikirin seabrek urusan pekerjaan, yang ditinggal cuti beberapa hari saja sudah bikin kalang kabut. Intinya ibadah haji itu ...ergh... nanti dulu ah. Belum mikirin. Titik !

Itu dulu.

Hingga alkisah saya membaca notes teman saya di facebook tentang cerita dia saat berhaji. Lho dia kan seumuran saya ? Kenapa sudah berhaji ? Demikian batin saya bertanya-tanya. Nah, ditambah lagi ada tulisan dia yang membuat saya tersentil. Intinya adalah kalau sudah mempunyai kemampuan finasial, menabunglah untuk pergi berhaji. Apalagi nikmat haji dikala sehat dan tubuh masih kuat.

Saya tertegun dan hati tergelitik. Benarkah demikian ? Mulailah saya mencari-cari informasi ibadah haji itu sebenarnya seperti apa. Kebetulan suami dan kakak mendapat undangan Walimatul Safar (syukuran orang yang akan berangkat haji). Ada tausiah menarik dari pembimbing haji, yakni Bapak KH Qasim Shaleh. Mungkin cara penyampaiannya yang bagus, hingga tausiah itu sangat berkesan. Intinya adalah kalau sudah ada kemampuan, jangan ditunda lagi. Kami sekeluarga pun berembug. Dari segi prioritas orang tua menempati urutan teratas. Bapak saya sudah sepuh dengan sebagian anggota badan tidak berfungsi karena stroke. Ibu saya Alhamdulillah sehat, tetapi mempunyai masalah dengan osteoporosis di tempurung kedua kakinya. Seandainya mereka berangkat, masing-masing harus didampingi. Secara hitungan matematika, saat itu uang di tabungan cukup untuk berangkat 5 orang. Dengan hati mantap, Bismillah,  mendaftarlah kami: Bapak, Ibu, suami, saya, dan kakak. Kala itu di tahun 2010, antrian haji reguler di Depok menunggu 3 tahun. Jadi kalau tidak ada aral melintang, tahun 2013 Insya Allah kami berangkat ke tanah suci.


Semua Adalah Kehendak Allah
Kami sudah membayangkan indahnya nanti melakukan perjalanan haji satu keluarga. Kalau menonton berita di TV, banyak jamaah haji yang sudah sepuh tersesat di jalan, atau melakukan aktivitas dengan harus dibantu orang lain. Orang tua kami Insya Allah akan tenang beribadah, karena anak-anaknya siap mendampingi. Tapi itu sekedar harapan. Di tahun kedua masa tunggu, yaitu 27 Januari 2012, bertepatan dengan suami saya ulang tahun, Bapak wafat. Menyesal dan kehilangan sudah pasti. Tetapi kemudian kami berbesar hati, bahwa orang yang sudah berniat haji, Insya Allah tercatat amalannya.

Singkat cerita tahun 2013 kami berempat Alhamdulillah berangkat menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Dan harus diakui, inilah ibadah yang menguras seluruh energi, mengaduk segenap emosi, menumpulkan ego kita sebagai manusia. Membolak balikkan semua paradigma tentang manusia dan kehidupan.  Meneguhkan bahwa kematian itu sebenarnya tidak berjarak, dan kepastian setelah kematian ada kebangkitan, hingga hari perhitungan kelak.

Kalau flash back setahun silam, akhirnya yang bisa diungkapkan adalah rasa syukur. Rukun ini sudah kami tunaikan. Semuanya Alhamdulillah dimudahkan Allah. Apa yang kami hadapi itu jauh dan sangat jauh lebih mudah dari orang-orang lain. Coba kalau menilik cerita inspiratif haji. Ada seorang buruh tani di Blitar dengan penghasilan 10 ribu sehari, menabung selama 20 tahun untuk bisa berangkat. Atau loper koran di Depok yang perlu 30 tahun agar tabungannya mencukupi. Jadi memang benar tulisan teman saya itu, selagi masih muda dan sehat, jika mempunyai kelonggaran rejeki, niatkan menabung untuk berhaji.  Insya Allah, segala sesuatunya akan dimudahkan.

Note:
Thanks Yunita yang sudah menuliskan cerita berhajinya di notes FB. Ini semacam legacy, yang akhirnya kuteruskan, dengan menorehkan catatan perjalananku, meski harus menunggu setahun lamanya.

Photo Credit : Mbak Ima


Friday, October 3, 2014

A Miracle Journey To Haramain 2013

Tahun 2014 sudah tergelar di depan mata.
Sebelum jiwa luntur dalam gerusan roda hidup yang terus berputar cepat.
Sebelum ingatan menjadi lamur.
Sebelum badan menjadi renta termakan uzur.

Ijinkan saya berhenti sejenak. Memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, untuk kemudian melemparkan ingatan pada kenangan akan sebuah perjalanan yang indah. Perjalanan meninggalkan orang-orang yang tercinta. Menuju undangan Sang Pemilik Cinta yang sebenarnya.

Perjalanan itu laksana sedetik yang lalu. Masih terasa tekstur dinding ka’bah yang menempel di telapak tangan. Sejuk. Harum. Merasuk melewati nadi. Menggetarkan hati manakala menyadari inilah tempat dimana Ibrahim, AS, sang Bapak Para Nabi mendirikan rumah untuk Allah. Menyerukan manusia untuk beribadah di sana. Dan berjarak ribuan tahun kemudian, seruan itu sampai pada kami.

Seolah baru kemarin air mata ini kering.  Setelah deras mengalir.  Membasahi  lantai Masjidil Haram. Berkumpul dengan air mata jutaan manusia lain dari segenap pelosok dunia. Merunduk. Bersimpuh. Dengan hati yang berkecamuk. Tidak kuasa menahan gemuruh di dada sembari bibir tidak henti melafaskan  Ya Aziz Ya Gaffar Ya Rabbal Alamin.

Seolah baru semalam kami melihat bulan sabit dan bintang gemintang yang terenda indah di langit Arafah. Menaungi raga-raga lemah dalam balutan kain ihram putih yang melusuh karena debu dan keringat.

Ah Wukuf yang tidak akan dilupakan oleh kami berdua. Saya dan suami. Wukuf yang istimewa karena di hari itulah 9 Dzulhijjah 1434 Hijriyah atau 14 Oktober 2013, kami merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-12.  Wukuf di Arafah inilah kami langitkan doa dengan bingkai kebahagiaan. Mengamini dan menegaskan ikrar dari Surat Al- Maa’idah: 3 yang turun di Arafah :
 “..Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu….”

Masih terasa hingar bingar, pekik semangat merapalkan talbiyah. Kaki yang bergerak cepat menuju Jamarat di Mina. Melontarkan batu pada jumrah Ula, Wusta, dan Aqabah sekuat tenaga. Berharap menghancurkan berhala-hala yang bersemayam di dada. Berhala yang selalu bermuara pada iri dengki dan hati yang tidak pernah puas.

Masih ingat bagaimana lafal Doa Kumail yang tidak  khatam dilantunkan. Tercekat tenggorokan ketika sampai pada bacaan:
“Maha suci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Aku telah zalim pada diriku sendiri. Telah lancang karena kebodohanku. Aku lalai karena merasa nyaman karena Engkau selalu mengingatku dan mengasihiku. Ya Rabbi ya Tuhan, betapa banyak keburukanku yang telah kau tutupi?...”

Duhai Tuhan, betapa nikmat yang kami cecap selama kami dijamu olehMu ini tidak cukup untuk dituliskan dan diceritakan. Pun lapis lazuli yang konon keindahannya tidak bisa ditandingkan dengan batu permata lain, tidak bisa menandingi keindahan yang terpatri di hati atas nikmatMu ini. Begitu megah dan luasnya hamparan nikmat itu sehingga masing-masing tamu mereguk nikmat dengan versinya masing-masing. Personal and intimate.

Kini perjalanan itu sudah usai. Jiwa kembali terperangkap dalam rutinitas dunia. Teriring doa semoga perjalanan ini adalah sebuah kemabruran,  sebagai bekal mengarungi waktu yang tersisa.

Sebagian perjalanan terekam di tayangan Youtube ini:
http://www.youtube.com/watch?v=B7DJTkv7ltk

Depok – 4 Januari 2014 (in memoriam perjalanan haji 2013)
Tulisan pertama di tahun 2014.
Note: Youtube courtesy : Mbak Ima.