Wednesday, April 27, 2011

Semusim Sudah




Betapa waktu setia berputar sejalan dengan rangkaian layar kehidupan.

Beberapa waktu lalu saya mendapati ruangan kamar tidur yang semerbak wangi. Segar dan lembut. Wewangian itu bersumber dari kuntum-kuntum bunga dari pohon tilia atau orang setempatnya menyebutnya sebagai pohon Linden yang ada disepanjang jalan di rumah kami. Pohon itu menjangkau hingga lantai tiga, tepat di depan jendela kamar kami. Bunganya berwarna hijau pupus, berbulir-bulir. Jika merekah wanginya bisa bertahan beberapa hari meski sudah kering. Kadang sekuntum dua kuntum bunga itu diterbangkan angin, masuk ke jendela kecil kami. Menelusup dalam bantal.

Kini bunga-bunga itu nyaris tidak ada. Kalaupun tersisa, tinggal berupa kuntum yang sudah layu berwarna cokelat. Daun-daun tilia yang berbentuk hati, yang semula berwarna hijau lemon, pun sudah kuyu, kuning kecokelatan.

Bergerak beberapa langkah kaki dari rumah, saya mendapati rimbun pohon-pohon oak yang juga bernasib serupa. Sebagian kuning, sebagian besar lagi cokelat. Kering kerontang. Berserak ditanah. Saat pulang sekolah, saya dan anak-anak kadang memunguti biji-bijinya yang mirip biji melinjo dalam ukuran lebih besar. Kami pilih beberapa biji dengan pecahan terbaik. Kalau beruntung, kami bisa membuatnya menjadi peluit yang nyaring bunyinya.

Sementara itu deretan pohon maple bertransformasi dalam gradasi warna yang beragam. Hijau, kuning, cokelat, cokelat kemerahan, merah tua. Berselang seling. Ah sungguh kata-kata saya terbatas untuk menerangkan keindahaannya. Daun-daun itu pun berserakan dijalan. Ketika kaki melangkah diatasnya, serasa berjalan di permadani daun. Tebal dan empuk.

Musim gugur menorehkan warna tersendiri bagi saya. Keindahannya yang tersaji dari aneka warna pepohonannya memang tidak terelakkan. Tapi disaat yang sama, musim ini menjadi semacam refleksi akan proses hidup. Aging, menua, kemudian pasrah untuk akhirnya bersatu dengan tanah.

Bagaimana gelapnya malam menyergap denyut hidup sang hijau daun. Memerasnya habis hingga tak bersisa. Meninggalkan daunnya yang lemah terkatung-katung di ranting pohon. Hingga angin menerbangkannya. Atau menggugurkannya hingga menjadi remah di tanah. Tak ada lebah yang mencicipi nektar kuntum-kuntum tilia. Tidak ada burung-burung kecil yang mencucuki pokok-pokoknya yang kini sudah pucat. Burung-burung itu sudah bermigrasi. Nun disana. Tempat dimana kehangatan hadir diantara mereka. Kini pohon tilia tinggal ranting-rantingnya yang ringkih saat ditiup angin. Dingin dan sepi.

Ah sudahlah..saya kok jadi mellow. Ketika Sang Pemilik Kehidupan berkehendak akan gugurnya sehelai daun, tentunya mudah bagiNya untuk menumbuhkan daun-daun berikutnya. Di musim yang berbeda.

No comments: