Saturday, April 30, 2011

Becoming A Dutch Lady Word By Word

Di negeri kincir angin, musim selalu berubah. Hanya satu yang tetap dan rasanya butuh waktu yang panjang untuk berubah, yaitu kemampuan berbahasa belanda saya. Saya datang ketika orang-orang masih berbusana minim dan memakai sunglasses. Hingga kini, semua orang membalut dirinya dengan jaket tebal dan menutup rapat kepala dan lehernya. Dan kemajuan berbahasa saya nyaris jalan ditempat. Kalau guru bahasa saya membaca notes ini, pasti beliau akan mengelus dada dengan prihatin.


Kamu serius mau belajar bahasa Belanda?” tanya seorang teman saya yang asli belanda.Bahasa belanda itu hanya dipakai tidak lebih dari 20 juta orang di dunia lho!” katanya lagi ketika tahu saya bersemangat di awal-awal kedatangan untuk belajar.


Ini orang bukannya senang bahasanya dipelajari orang lain, eh malah bikin ngedrop semangat saja. Batin saya.


“Kalau jago berbahasa belanda, siapa tahu saya menemukan kode-kode rahasia yang dibuat oleh VOC disuatu pulau di Indonesia. Dan disitu tersimpan harta karun,” jawab saya dengan nyengir.


Sayang semangat saya benar-benar kandas. Mungkin karena resesi, pemerintah belanda kini membatasi orang yang berhak mendapatkan inburgeringcursus (pendidikan integrasi berkaitan dengan bahasa dan budaya lokal). Peserta adalah warga asing yang berniat tinggal di Belanda minimal 10 tahun.


Untuk mengambil kursus di lembaga swasta saya urungkan setelah disodori angka biaya kursus yang bikin bola mata nyaris meloncat. Akhirnya saya mempelajari bahasa belanda itu sendiri melalui internet dan buku-buku bekal dari Jakarta. Belajar sendiri itu butuh komitmen besar. Jujur saja, waktu yang ada banyak terbuang untuk urusan remeh temeh di media social network. Hasilnya, ya gitu deh…. bahasa belanda saya tetap minim.


Ucapan standar seperti selamat pagi, siang, malam atau sekedar menanyakan kabar pastinya sudah khatam. Satu hal lagi, ada dua kata yang fasih saya ucapan. Echt Waar?! Itu adalah ekspresi paling umum dari orang-orang belanda. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul anak Jakarta kurang lebih menjadi, Ah yang bener cyiin ?!”


Karena anak-anak saya masuk di sekolah umum belanda, mau tidak mau saya harus memakai bahasa belanda untuk berkomunikasi dengan guru dan orang tua murid. Susah payah saya merangkai kata per kata yang pada akhirnya pembicaraan pun berujung menjadi Denglish (Dutch English), gado gado antara bahasa belanda dan Inggris. Namun secara perlahan otak, telinga, dan mulut saya mulai sinkron untuk menyerap kata-kata asing itu.


Yang membuat saya surprise adalah kemajuan bahasa anak pertama saya, Bagas (7 tahun). Benar kata orang, anak-anak itu seperti spon, menyerap apa saja termasuk bahasa yang baru ia kenal. Bahkan saya belajar banyak dari dia. Kata-kata seperti rode, roze, reus, bisa saya ulang-ulang dibawah supervisi dia he he he. Dia juga membetulkan cara pengucapan huruf G yang benar. Mulut dibuka, pastikan suara tidak bergetar. Bunyikan dengan lidah diletakkan di ujung rongga atas. Maka yang keluar adalah bunyi g yang halus. Saya baru tahu itulah kenapa orang-orang Indonesia jaman angkatan 45 akan bicara dengan g yang halus. Mungkin karena pengaruh kolonial.

PR juga bagi saya untuk mengucapkan huruf R dengan lidah bagian tengah yang bergetar. Pokoknya puyeng deh.


Di sekolah, setiap hari jumat adalah hari membaca. Maka orang tua akan masuk kelas dan membacakan buku buat anak-anaknya. Saya pun membaca dengan terbata-bata, sampai seorang ibu di sebelah saya memperhatikan dengan tersenyum. Setelah tahu kenapa alasan saya tidak ambil inburgeringcursus, maka dia menawari saya untuk bergabung dengan satu organisasi yang menawarkan kursus murah. Hanya bayar 10 euro setahun. Tentu saja saya tidak lewatkan kesempatan itu.


Lembaga itu dikelola oleh para perempuan Belanda secara suka rela. Lokasinya 20 menit dari rumah dengan kayuhan sepeda. Ada beberapa kelas sesuai tingkat kemampuan muridnya. Lembaga ini punya fasilitas lab bahasa yang bagus. Ada satu ruangan yang didedikasikan untuk tempat bermain anak, lengkap dengan opas alias penjaganya. Tentunya ini satu kemewahan buat ibu-ibu. Mereka bisa meninggalkan anaknya dengan tenang untuk belajar. Yang menarik juga adalah di musim panas ada program belajar naik sepeda. Karena sepeda adalah moda transportasi penting di Belanda.


Saya dimasukkan dalam kelas dasar. Jadualnya seminggu tiga kali, setiap hari senin, selasa, dan Jumat. Dari jam 9.15 – 11.30. Meski biayanya murah, pengajar sudah wanti-wanti diawal agar muridnya serius, dan jangan coba-coba untuk datang telat. Satu pelajaran penting hidup di Belanda, disiplin tinggi. Terlambat 5 menit saja sudah masuk kategori dosa besar. Kita tidak diijinkan untuk masuk kelas sampai sesi berikutnya.


Dan di kelas itulah saya bergabung dengan perempuan dari berbagai bangsa. Turki, Maroko, Suriname, Ghana. Umurnya beragam dari yang masih muda hingga ibu-ibu. Yang mengesankan adalah semangat dari ibu-ibu yang sudah berumur itu untuk belajar.

Seorang ibu maroko berkerudung yang saya taksir usianya 50 tahun dengan terbata-bata mengeja kata per kata. Suaranya kurang jelas, lebih banyak bergumam seperti haba..haba..haba. Setelah bacaanya selesai, tampak kelegaan diwajahnya. “Heel moelijk…Masya Allah…Ya Rabbi…Ya Rasullulah…” ucapnya tak putus-putus.


Tidak mudah memang untuk mempelajari bahasa asing untuk orang yang sudah kasep dimana lidah sudah tidak lentur, dan otak sudah tidak seperti spon. Tapi selama masih ada semangat, pasti ada jalan.


For me, becoming a dutch lady word by word is such a long road. Yet it’s fun.


PS: Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah buku berjudul Becoming Italian Word by Word, karya Dianne Hales, yang menceritakan pengalamanya sebagai orang Amerika mempelajari bahasa italia.

Wednesday, April 27, 2011

Mimpi kami sudah diantar


Mimpi kami sudah diantar minggu lalu, tepatnya kamis siang 23 November tepat jam 12 kurang seperempat. Datang dengan ditandai ketukan lewat jendela kaca pintu dapur. Awalnya pelan. Tak lama ketukannya semakin intens. Berirama. Tap..tap..tap. Ho ho ho mimpi kami akhirnya datang rupanya. Lonjak saya riang dalam hati.

Mimpi itu berupa butiran es yang dingin, sedikit panas jika digenggam lama di tangan. Mirip serutan es yang dijual abang-abang es teler. Wet snow. Masih kasar dan kandungan airnya banyak. Tidak mudah untuk dibentuk. Butiran itulah yang menempel di pintu kaca. Membuat kaca menjadi buram.

Selanjutnya hari-hari berlalu tanpa si serbuk putih. Hanya angin dingin yang mengersik. Dinginnya menampar kedua pelah pipi hingga kemerahan. Kiranya kapan akan datang lagi ? Saya tak henti menengok si penebak cuaca. Berharap adanya berita bagus tentang si serbuk putih.
“Tunggulah senin malam. Sekitar jam 8 malam,” kata penebak cuaca.
“Benarkah ?” Kata saya dengan harap cemas.
“Selama ini kau percaya kepadaku kan ?” Jawab penebak cuaca dengan tersenyum.

Dan memang dia tidak pernah ingkar janji. Senin malam, saat jam menunjukkan suhu minus 8 derajat celcius, serbuk putih datang lagi. Mendarat di atas atap-atap mobil yang diparkir dipinggir jalan. Meninggalkan warna putih dengan kilau kuning karena terpendar lampu jalan.

Saya buka pintu belakang. Semua halaman sudah diselimuti serbuk putih. Anak-anak berlonjak kegirangan. Saya ikutan juga. Kami raup serbuk putih dalam tangan. Ringan dan lembut. Kami buat bulatan kecil-kecil. Inilah salju yang sebenarnya.

Kami buka jendela kamar atas. Serbuk putih itu menempel di kisi-kisi jendela luar. Kembali anak-anak berlonjakan. Meraupnya dengan kedua tangan. Ups, terlalu banyak, sehingga sebagian berceceran. Lantai karpet pun menjadi basah.

Dan paginya, saat kami buka tirai jendela. Atap-atap rumah sudah dibingkai warna putih. Demikian juga jalanan. Tak terkecuali pohon-pohon Tilia.

Dan sore itu, sepulang dari sekolah, anak-anak berlonjakan tak henti. Kali ini di lapangan bermain. Mereka meraupnya sebanyak yang mereka bisa. Membentuknya bulat-bulat. Dan saling bertimpukan. Perang salju.

Saya tersenyum. Betapa mereka, anak-anak itu, telah lupa dengan apa yang mereka rindukan. Rindu pada dekapan hangat sang nenek yang welas asih. Pada teman-teman sepermainan. Pada ikan-ikan yang kini sudah dilepas di kali dekat rumah. Pada burung gelatik belong yang hingga kini belum juga bertelur. Pada pasar kaget hari minggu tempat mereka beli ikan dan balon gelembung. Pada pohon mangga depan rumah yang entah kenapa tahun ini tidak berbuah. Pada sepeda-sepeda mereka yang kini mungkin agak berkarat. Pada semua yang ditinggalkan di sana, di kampung Anggrek. Kerinduan mereka sudah ditukar dengan mimpi. Mimpi tentang negeri yang dituang salju setiap musim dingin. Dan mimpi itu kini sudah ada digenggaman mereka.

Akankah Sinterklaas mampir ke rumah ?

Desember belum tiba tapi keriuhan kedatangan Sinterklaas dan Zwarte Piet (Piet Hitam) sudah bertebaran dimana-mana. Di sudut kota sudah terlihat remaja-remaja dengan muka bercat hitam membawa karung. Membagikan pepernoot, kue rasa kayumanis berbentuk bulat-bulat seperti kancing kepada anak-anak kecil.

Dan ini sedikit obrolan tentang Sinterklaas.

“Mama, Sinterklaas itu beneran ada ga sih”. Mukanya serius.
“ Hmmm…anak-anak sih percaya”.
"Katanya Sinterklaas sama Zwarte Piet datang dari Spanyol ?"
(Duh, ada yang bisa bantu ga ? ) " Iya mungkin”.
"Datangnya naik stoomboot, kata Juf ." (Juf adalah sebutan guru disekolah)
"Jauhan mana Spanyol sama Depok kalau mau ke Belanda?" Kali ini giliran Sekar yang tanya.
"Depok dong. Kan musti naik pesawat dulu. Belum nyambung lagi naik mobil atau taxi dari bandara."
"Sinterklass baik ya ? Katanya bagi-bagi hadiah".
"Iya."
"Tapi Bagas sama Sekar nanti nggak dibagiin hadiah ?"
"Lho emang kenapa ?"
"Kita kan orang Islam."
(Nah lho…) Emang kenapa ?
"Nanti Sinterklaas pas datang ke rumah, lihat Bagas lagi sholat ga jadi dibagiin hadiah."
Saya tertawa.
"Iya nggak Ma ?"
"Nggak. Sinterklaas itu baik sama semua anak. Dan akan membagi hadiah buat anak yang baik."
"Kamu mau dapat hadiah ga ?"
"Iya"
"Ya, sholatnya jangan bolong-bolong."
(Setiap satu kali sholat, saya beri reward satu stiker. Kemudian stiker dikumpulin untuk ditukar mainan).
“Ok deh!” Kali ini sambil tersenyum lebar.

Dan menyanyilah kedua bocah itu dengan riang:
Sinterklaas kapoentje
gooi wat in m'n schoentje
gooi wat in m'n laarsje
dank u Sinterklaasje.

Demikianlah. Sinterklaas dan Zwarte Piet menjadi tokoh baru yang dikenal Bagas dan Sekar, setelah: Power Ranger, Si Bolang, Unyil, dan Ipin Upin.

Semusim Sudah




Betapa waktu setia berputar sejalan dengan rangkaian layar kehidupan.

Beberapa waktu lalu saya mendapati ruangan kamar tidur yang semerbak wangi. Segar dan lembut. Wewangian itu bersumber dari kuntum-kuntum bunga dari pohon tilia atau orang setempatnya menyebutnya sebagai pohon Linden yang ada disepanjang jalan di rumah kami. Pohon itu menjangkau hingga lantai tiga, tepat di depan jendela kamar kami. Bunganya berwarna hijau pupus, berbulir-bulir. Jika merekah wanginya bisa bertahan beberapa hari meski sudah kering. Kadang sekuntum dua kuntum bunga itu diterbangkan angin, masuk ke jendela kecil kami. Menelusup dalam bantal.

Kini bunga-bunga itu nyaris tidak ada. Kalaupun tersisa, tinggal berupa kuntum yang sudah layu berwarna cokelat. Daun-daun tilia yang berbentuk hati, yang semula berwarna hijau lemon, pun sudah kuyu, kuning kecokelatan.

Bergerak beberapa langkah kaki dari rumah, saya mendapati rimbun pohon-pohon oak yang juga bernasib serupa. Sebagian kuning, sebagian besar lagi cokelat. Kering kerontang. Berserak ditanah. Saat pulang sekolah, saya dan anak-anak kadang memunguti biji-bijinya yang mirip biji melinjo dalam ukuran lebih besar. Kami pilih beberapa biji dengan pecahan terbaik. Kalau beruntung, kami bisa membuatnya menjadi peluit yang nyaring bunyinya.

Sementara itu deretan pohon maple bertransformasi dalam gradasi warna yang beragam. Hijau, kuning, cokelat, cokelat kemerahan, merah tua. Berselang seling. Ah sungguh kata-kata saya terbatas untuk menerangkan keindahaannya. Daun-daun itu pun berserakan dijalan. Ketika kaki melangkah diatasnya, serasa berjalan di permadani daun. Tebal dan empuk.

Musim gugur menorehkan warna tersendiri bagi saya. Keindahannya yang tersaji dari aneka warna pepohonannya memang tidak terelakkan. Tapi disaat yang sama, musim ini menjadi semacam refleksi akan proses hidup. Aging, menua, kemudian pasrah untuk akhirnya bersatu dengan tanah.

Bagaimana gelapnya malam menyergap denyut hidup sang hijau daun. Memerasnya habis hingga tak bersisa. Meninggalkan daunnya yang lemah terkatung-katung di ranting pohon. Hingga angin menerbangkannya. Atau menggugurkannya hingga menjadi remah di tanah. Tak ada lebah yang mencicipi nektar kuntum-kuntum tilia. Tidak ada burung-burung kecil yang mencucuki pokok-pokoknya yang kini sudah pucat. Burung-burung itu sudah bermigrasi. Nun disana. Tempat dimana kehangatan hadir diantara mereka. Kini pohon tilia tinggal ranting-rantingnya yang ringkih saat ditiup angin. Dingin dan sepi.

Ah sudahlah..saya kok jadi mellow. Ketika Sang Pemilik Kehidupan berkehendak akan gugurnya sehelai daun, tentunya mudah bagiNya untuk menumbuhkan daun-daun berikutnya. Di musim yang berbeda.