Monday, May 2, 2011

Mencicipi pendidikan di sekolah terbaik Belanda (bagian 2)


Ada yang berbeda di sekolah De Grebbe pada pagi hari, 1 April 2011 lalu. Bendera warna warni dan balon-balon dipasang di sepanjang sekolah. Musik riang dari ‘gerobak musik’ dipasang dengan volume kencang. Ada karpet merah yang dipasang dari halaman depan sekolah hingga mulut pintu masuk. Ada panggung kecil ditempatkan. Setiap murid yang datang disambut hangat oleh masing-masing wali kelas, dan dikalungi medali. Tampak sejumlah kamera dari stasiun TV sibuk mengabadikan gambar.

Semua guru, murid, dan orang tua yang mengantar, berkumpul disisi kanan kiri karpet. Dan tibalah acara pembukaan. Lia Vermaulen, sang kepala sekolah, memberikan sambutan. Hari itu De Grebbe merayakan kemenangannya sebagai “Sekolah Dasar Terbaik se-Belanda untuk tahun 2011”.

“Hieperdepiep hoera!,” teriak semua orang dan sorak sorai pun terdengar.

Dan piala berbentuk gajah dari tembaga pun diperlihatkan oleh sang kepala sekolah dengan bangga. Piala itu diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan Belanda sehari sebelumnya di Museum Nemo, Amsterdam. Dan hari itu semua orang berpesta. Mencicipi kue tart yang dibagikan ke seluruh murid, guru, bahkan orang tua yang hadir.

Eind maart heeft minister Van Bijsterveldt de tweejaarlijkse Nationale Onderwijsprijs uitgereikt. In het primair onderwijs is basisschool De Grebbe uit Bergen op Zoom winnaar. Om taalachterstand in te lopen besteedt De Grebbe veel extra tijd aan begrijpend lezen en rekenen, maar wordt tegelijkertijd ook iets gedaan aan het gebrek aan ervaringen van de leerlingen. De Grebbe, een bijna 100 procent ‘zwarte school’, maakt taal tot een levend begrip in praktische lessen. De aanpak is succesvol: de taalachterstand bij kinderen in groep 3 wordt binnen vijf jaar omgebogen naar een voorsprong, blijkt uit het inspectierapport. Dat levert het predicaat ‘excellente school’ op. Meer over de aanpak van De Grebbe is te lezen in Kader Primair 6 van februari 2011 (pag. 38). De prijswinnaar heeft de Bronzen Olifant en een bedrag van 7.000 euro ontvangen.

Penghargaan itu memang layak diperoleh oleh De Grebbe. Predikatnya sebagai Zwarte School (black school) karena mayoritas muridnya adalah anak imigran dipatahkan oleh kenyataan akan prestasi yang diraih oleh murid-muridnya. Seperti yang saya tulis di note sebelumnya, bahwa murid-murid De Grebbe adalah multikultur : Turki, Maroko, Bulgaria, Yugoslavia, Polandia, Bosnia, Afganistan, Somalia, Vietnam, Thailand, Ghana. Orang Belanda asli hanyalah minoritas. Bahkan beberapa adalah anak asli Belanda yang bersekolah disini adalah anak berkebutuhan khusus.

Zwarte school, julukan itu sempat mencubit hati saya. Saya kira itu hanya julukan informal yang beredar dari mulut ke mulut. Hingga di koran saya temukan bahwa tanpa tedeng aling-aling mereka sebut sekolah itu sebagai zwarte school. Dalam gambaran saya, zwarte school tak ubahnya seorang zwarte piet (piet hitam) yang membantu Sinterklaas yang dicitrakan sebagai orang kaukasia,memanggul hadiah di bulan desember. Belakangan, nama zwarte sudah dihilangkan. Sehingga cukup disebut sebagai Piet saja. Karena ada unsur sara didalamnya.

Saya pun ‘protes.’ Tidak adakah julukan yang lebih baik dari Zwarte School. Misalnya dengan menyebutnya multikultur ? Tapi ya sudahlah. Protes saya hilang seperti asap ketika kemudian menyadari bahwa sebagus apapun propaganda akan pentingnya kesetaraan, tetap saja seorang imigran tetaplah imigran. Dan posisi terjauh yang bisa diraih adalah sebagai warga kelas dua.

Tapi julukan itu tidak lantas memburamkan kejernihan sekolah ini dalam mengemban tugas memberikan pendidikan terbaik dan setara buat murid-muridnya. Mengajar anak-anak multikultur itu bukan tugas yang mudah. Bahasa sudah tentu menjadi kendala. Tak jarang latar belakang sosial budaya dari negara asal anak tersebut turut mempengaruhi kestabilan psikologi anak yang bersangkutan.

Tetapi sekolah ini berhasil mengembangkan metode pelajaran sedemikian rupa, sehingga anak-anak tersebut mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Belanda. Bahkan pada akhirnya kemampuan berbahasanya bisa menyaingi murid-murid di sekolah lain yang notabene warga asli Belanda. Lebih membanggakan lagi prestasi dalam mata pelajaran lain pun diatas rata-rata.

Berdasarkan pengalaman apa yang didapat oleh anak saya, Bagas (7 tahun), secara berkala ia dibawa ke ruang khusus. Dan disana bersama beberapa teman lain yang selevel dengan dirinya, diberikan tambahan pelajaran bahasa secara khusus. Dari sini anak-anak dipantau.

Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar saja. Mereka juga bertindak sebagai konseptor dalam mengembangkan metode pendidikan baru. Dan semuanya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari sekolah. Tidak berarti segala program itu berjalan tanpa kendala. Anggaran menjadi tantangan. Krisis ekonomi dunia turut merubah kebijaksanaan negara-negara di Eropa. Diantaranya anggaran pendidikan mengecil. Sementara pihak sekolah harus tetap putar otak untuk tetap menjadi institusi yang berkompeten.

Saya sungguh salut kepada Lia Vermeulen, kepala sekolah, sebagai garda depan membawa guru-gurunya berkomitmen tinggi mewujudkan kurikulum pendidikan hasil pengembangan sendiri. Perempuan rapi nan chic berusia paruh baya ini padahal mengepalai juga sekolah lain. Tetapi disela kesibukan waktunya, ia masih menyempatkan diri untuk setiap pagi di hari tertentu berdiri di depan pintu gerbang. Menyapa setiap murid dan orang tua yang datang dengan senyum ramah. Berbincang sebentar dengan orang tua. Kadang ia juga mengundang orang tua untuk bertemu, mengobrol dalam satu jamuan kopi dan teh yang santai di sore hari. Membagikan pengalaman apa yang dia punya, kendala apa yang sedang ia hadapi, dan masukan apa dari orang tua. Ia tekun mendengarkan sambil tangannya tetap membuat catatan.

Kekaguman saya pada perempuan itu juga muncul ketika ia ikut bergabung bersama wali murid dalam sesi membaca bersama di grup 3. Berhubungan kekurangan tenaga untuk membacakan buku, ia sendiri turut terlibat. Acara ini ditutup dengan makan bersama. Dan tak segan ia berdiri, menata gelas, dan menuangkan kopi, dan menyajikannya kepada setiap wali murid. Jabatannya sebagai kepala sekolah tidak lantas menghalangi dirinya untuk mempunyai jiwa melayani. Ini tentu saja menjadi contoh langsung guru-guru yang dipimpinnya. Tak heran jika para guru dan orang tua menaruh rasa hormat kepadanya.

Dengan penghargaan tersebut, sekolah berhak membawa hadiah sebesar 7000 euro. Dan hadiah itu langsung direalisasikan untuk membangun kelas baru dan fasilitas bermain di halaman.

Dan akhirnya, mencicipi pendidikan di sekolah terbaik belanda ini memberikan pengalaman luar biasa buat anak-anak dan saya. Saya percaya, setiap anak adalah anugerah dan mempunyai keunikan masing-masing. Mereka adalah jiwa-jiwa murni yang hadir tanpa sekat warna kulit, latar belakang agama, dan sosial ekonomi. Dan yang pasti, tidak pernah ada prejudice diantara mereka. Dengan bekal pendidikan yang tepat, diharapkan setiap anak bisa membawa dirinya menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dan syukur-syukur menjadi manfaat buat sesama.

Tulisan ini secara kebetulan saya unggah bersamaan dengan hari pendidikan di Indonesia. Tidak ada maksud untuk membanding-bandingkan antara pendidikan di Belanda dan Indonesia. Kita tahu caruk marut wajah pendidikan di Indonesia. Tetapi kita juga tahu, masih ada mutiara-mutiara indah yaitu guru-guru yang tetap berdedikasi tinggi menyumbangkan ilmunya tanpa kenal lelah, meskipun tanpa penghargaan setimpal. Teriring salam takzim kepada guru-guru guru di seluruh tanah air.

No comments: