Wednesday, April 27, 2011

Mimpi kami sudah diantar


Mimpi kami sudah diantar minggu lalu, tepatnya kamis siang 23 November tepat jam 12 kurang seperempat. Datang dengan ditandai ketukan lewat jendela kaca pintu dapur. Awalnya pelan. Tak lama ketukannya semakin intens. Berirama. Tap..tap..tap. Ho ho ho mimpi kami akhirnya datang rupanya. Lonjak saya riang dalam hati.

Mimpi itu berupa butiran es yang dingin, sedikit panas jika digenggam lama di tangan. Mirip serutan es yang dijual abang-abang es teler. Wet snow. Masih kasar dan kandungan airnya banyak. Tidak mudah untuk dibentuk. Butiran itulah yang menempel di pintu kaca. Membuat kaca menjadi buram.

Selanjutnya hari-hari berlalu tanpa si serbuk putih. Hanya angin dingin yang mengersik. Dinginnya menampar kedua pelah pipi hingga kemerahan. Kiranya kapan akan datang lagi ? Saya tak henti menengok si penebak cuaca. Berharap adanya berita bagus tentang si serbuk putih.
“Tunggulah senin malam. Sekitar jam 8 malam,” kata penebak cuaca.
“Benarkah ?” Kata saya dengan harap cemas.
“Selama ini kau percaya kepadaku kan ?” Jawab penebak cuaca dengan tersenyum.

Dan memang dia tidak pernah ingkar janji. Senin malam, saat jam menunjukkan suhu minus 8 derajat celcius, serbuk putih datang lagi. Mendarat di atas atap-atap mobil yang diparkir dipinggir jalan. Meninggalkan warna putih dengan kilau kuning karena terpendar lampu jalan.

Saya buka pintu belakang. Semua halaman sudah diselimuti serbuk putih. Anak-anak berlonjak kegirangan. Saya ikutan juga. Kami raup serbuk putih dalam tangan. Ringan dan lembut. Kami buat bulatan kecil-kecil. Inilah salju yang sebenarnya.

Kami buka jendela kamar atas. Serbuk putih itu menempel di kisi-kisi jendela luar. Kembali anak-anak berlonjakan. Meraupnya dengan kedua tangan. Ups, terlalu banyak, sehingga sebagian berceceran. Lantai karpet pun menjadi basah.

Dan paginya, saat kami buka tirai jendela. Atap-atap rumah sudah dibingkai warna putih. Demikian juga jalanan. Tak terkecuali pohon-pohon Tilia.

Dan sore itu, sepulang dari sekolah, anak-anak berlonjakan tak henti. Kali ini di lapangan bermain. Mereka meraupnya sebanyak yang mereka bisa. Membentuknya bulat-bulat. Dan saling bertimpukan. Perang salju.

Saya tersenyum. Betapa mereka, anak-anak itu, telah lupa dengan apa yang mereka rindukan. Rindu pada dekapan hangat sang nenek yang welas asih. Pada teman-teman sepermainan. Pada ikan-ikan yang kini sudah dilepas di kali dekat rumah. Pada burung gelatik belong yang hingga kini belum juga bertelur. Pada pasar kaget hari minggu tempat mereka beli ikan dan balon gelembung. Pada pohon mangga depan rumah yang entah kenapa tahun ini tidak berbuah. Pada sepeda-sepeda mereka yang kini mungkin agak berkarat. Pada semua yang ditinggalkan di sana, di kampung Anggrek. Kerinduan mereka sudah ditukar dengan mimpi. Mimpi tentang negeri yang dituang salju setiap musim dingin. Dan mimpi itu kini sudah ada digenggaman mereka.

No comments: