Monday, July 27, 2015

Mencari Hilal - Review


Awalnya saya malas untuk menonton film ini. Maklum beberapa kali menonton film Indonesia, ujung-ujungnya misuh-misuh keluar dari bioskop. Sampai akhirnya Tedi, teman kantor, meyakinkan saya untuk menonton.

“Bu, ini yang main Oka Antara lho ! Kita sebagai fans Oka, harus mendukung dia dalam film apapun,” bujuk Tedi.

“Gini deh, aku bayarin nontonnya!” rayu Tedi lagi, melihat saya masih belum bergeming dari ruangan.

Dan meluncurlah kita ke Bioskop Metropole pada Jumat sore, 24 Juli kemarin. 

Saya tidak tahu ini film apa. Sutradaranya siapa, produsernya siapa ? Pokoknya ini filmnya Oka Antara. He he maklum saya memang menyukai aktingnya. Dalam kamus saya,  di Indonesia saat ini hanya ada 3 pemain laki-laki terbaik : Oka Antara, Reza Rahardian dan Dwi Sasono. Titik !

Saya menikmati film ini tanpa ekspetasi. Cerita dibuka dengan Deddy Sutomo yang memerankan tokoh bernama Mahmud, seorang saleh yang berprofesi sebagai pedagang beras. Deddy Sutomo yang terakhir kali saya tonton aktingnya dalam serial Rumah Masa Depan di tahun 80-an, tampak mumpuni memerankan perannya sebagai Mahmud, yang hidup berdua dengan anak perempuannya bernama Halida (Erythrina Baskoro).

Beberapa menit berlalu, saya mulai tidak sabar menanti kemunculan Oka Antara. Saya tengok  Tedi dan memastikan dia masih menonton. Karena biasanya itu bocah langsung merem kalau sudah di dalam bioskop.

Daaaan yang ditunggu pun muncul. Dengan cambang dan jenggot berantakan, Oka muncul. Aktingnya cool, santai, dan tentu saja natural laiknya dalam film-film sebelumnya. Dia memerankan tokoh Heli. Berbeda dengan Mahmud dan Halida yang saleh, tokoh Heli ini digambarkan sebagai pemuda aktivis yang slengekan, yang tidak bisa terpisahkan dari gadget. Baginya mungkin agama dan segala tetek bengek ritualnya bukanlah sesuatu yang penting. Bahkan mungkin dia masuk golongan agnostic, yang mempercayai Tuhan tapi bersikap apriori terhadap agama. Baginya yang penting hidup damai dan bersikap baik terhadap sesama.

Kemunculan Heli ini menjadi titik awal konflik film ini. Alkisah Heli terpaksa pulang ke rumah karena harus mengurus passport utk tugas ke Nicaragua. Dalam waktu yang mepet, dan menjelang libur lebaran, muskil untuk pengurusan passportnya bisa jadi dengan cepat. Sementara itu Mahmud mempunyai niatan mulia untuk melakukan perjalanan napak tilas menuju lokasi keberadaan hilal. Sebuah ritual yang biasa dilakukan semasa muda dulu, saat dia masih mondok di pesantren.  Halida seperti wasit yang berdiri ditengah-tengah. Dia yang mengkhawatirkan kondisi kesehatan Mahmud mau melepaskan Mahmud pergi asal ditemani oleh Heli. Sementara Heli yang punya background hubungan tidak baik dengan Mahmud hukumnya wajib menemani Mahmud kalau passportnya mau diurus. Di sini, tokoh Halida diceritakan bekerja di kantor Imigrasi yang mempunyai akses terhadap pengurusan passport.

Alur cerita pun mulai terjalin dengan baik. Ada bongkah excitement yang hinggap dalam kepala saya. Saya pun mulai menegakkan sandaran. Bersiap untuk menikmati sebuah perjalanan ayah dan anak. Secara garis besar cerita film Mencari Hilal ini mirip dengan film Les Grand Voyage, besutan Sutradara Ismael Ferroukhi (rilis tahun 2004), yang berkisah tentang perjalanan anak yang menemani ayahnya melakukan perjalanan haji dengan mobil dari daerah Perancis Selatan. Kalau setting Les Grand Voyage mengambil lokasi di  Eropa, Turki, Syria, Yordania, hingga Mekkah, maka Mencari Hilal berputar di sekitar kawasan Jogjakarta.

Well, meski konsep cerita tidak orisinal, ini bukan sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Toh ada pepatah “Nothing new under the sun”. Jangan nyinyir dulu sebelum menonton film ini. Karena kita akan disuguhi oleh cerita yang apik, konflik yang riil, akting mantap tidak hanya dari tokoh utama, tetapi juga para pemain pendukungnya. Menonton film ini seperti melihat cermin kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini. Bagaimana penonton dibuat mangkel dengan sikap Mahmud yang merasa dirinya berilmu agama tinggi, dan mengganggap orang lain bodoh dan sesat. Mahmud ini gambaran para takfiri yang gemar mengkafirkan orang lain. Memahami agama sebagai ranah hitam putih. Halal haram.  Melihat sosok Mahmud, saya jadi teringat dengan seorang teman di Facebook yang langsung memvonis saya melakukan blasphemy alias penistaan agama, gara-gara saya meng-share tulisan tentang kritik terhadap pembangunan megah dan besaran-besaran kota Mekkah. Melalui privat message, dia menghujani saya dengan berbagai tuduhan. Juga tentang kesesatan umat muslim Indonesia. Awalnya saya tidak meladeni. Tetapi lama kelamaan mangkel juga. Terakhir kali dia menulis pesan bahwa saya selama ini pasti tidak tahu Al Fatihah itu apa. Olala, dibalik jidat hitam dan gamis putihnya, dia bertindak seperti perpanjangan tangan Tuhan dan kemudian menghakimi orang lain seenak udelnya. Tak mau berurusan dengan orang itu, akhirnya tangan saya dengan lincah mengklik satu tombol. BLOCK.

Kembali ke Mencari Hilal, film ini membawa saya pada suasana nostalgik masa kecil. Tone warnanya yang sejuk menangkap gambar alam pedesaan yang menentramkan. Suasana guyub desa yang menjadi pemandangan langka kaum urban. Langgar atau surau desa mengingatkan saya ketika masih bocah saat sholat tarawih berjamaah. Hanya yang membuat saya sering tercekat selama menonton film ini adalah gesture Deddy Sutomo yang mengingatkan saya pada almarhum bapak saya di akhir – akhir masa hayatnya.

Perjalanan ayah dan anak ini mengalir secara enak dan pas. Sesekali ada humor, ada sentilan terhadap polah politikus. Hanya sayangnya ada scene yang membuat saya risih, yaitu pada saat adegan umat nasrani beribadah dan segerombolan ormas Islam membubarkannya. Terus terang ini membuat saya malu sendiri, karena memang ini bukan sekedar adegan film belaka, tetapi nyata di masyarakat saat ini. Untung dalam cerita ini terhibur dimana ketegangan antar umat berbeda agama bisa diselesaikan dengan baik melalui dialog. Dan masalah bisa diselesaikan dengan baik. Meskipun terkesan sangat instan. Tetapi hey, bukankah ini menjadi sebuah contoh bahwa dialog antar umat beragama adalah kunci hidup damai dan penuh toleransi.

Bagaimana akhir cerita film ini ? Apakah hilal yang dicari ketemu ? Ini menjadi tidak penting, karena ayah dan anak ini sepertinya menemukan apa yang selama ini hilang dalam diri mereka. Cerita film ditutup menggantung. Dan mendadak saya seperti mendapat PR selesai menonton film ini. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba berkecamuk dalam kepala. Misalnya bagaimana kita menjaga toleransi tetapi tetap mempunyai jati diri. Bagaimana menjalankan ibadah secara luwes ditengah masyarakat yang multikultur, dengan tetap berpegang pada fiqih serta secara bersamaan memahami esensi dari syariat tersebut. Aduuh duh kok jadi serius ya.

Well ini film memang bagus dan sangat layak ditonton. Kalaupun ada kritikan, lebih pada tata gambar yang kadang kurang steady, goyang-goyang. Dan satu lagi, ini sih masukan pribadi, musik latarnya masih terlalu lengang. Seandainya musiknya latarnya diisi musisi seperti Payung Teduh, mungkin mood film ini akan lebih terangkat. Adanya subtitle berbahasa Inggris di film ini sepertinya persiapan untuk film ini diikutkan dalam ajang festival film internasional. Melihat kualitas film ini, rasanya pede untuk diadu dengan film-film negara lain. Semoga bisa mengikuti jejak sukses film-film besutan Majid Majidi.

Oya, seperti yang diceritakan di awal tulisan bahwa pengetahuan saya tentang film ini nol. Jadi saya belai-belain menyimak credit titlenya, dan munculah nama-nama seperti Salman Aristo, Komaruddin Hidayat, Haidar Bagir, Denny JA. Juga nama-nama yang saya pernah bertemu secara personal seperti Putut Widjanarko dan Avesina Subli. Kudos untuk semua yang telah terlibat dalam film ini. Juga untuk sang sutradara : Ismail Basbeth.

Tapi sayang sungguh sayang, film berkualitas bagus ini meski baru diluncurkan, Jumat lalu hanya bisa ditemui di 3 bioskop di Jakarta. Film ini harus bersaing dengan film seperti Ant-Man dan Terminator Genisys.

“Jadi gimana Bu, bagus kan filmnya ?” kata Tedi dengan wajah puas. Mukanya yang bulat bersinar ceria seperti sedang melihat hilal ketika satenya datang.

“Ya ya, bagus bagus,” jawab saya sambil menyantap pempek megaria yang hits. Ah tapi kenapa kecamuk di kepala masih belum hilang ya meski perut sudah diisi dengan lenjer dan kapal selam.