Thursday, June 19, 2008

HELP: Anakku Tantrum !

Menulis blog ini setelah beberapa saat tadi menghadapi tantrum si Bagas.
Teriring doa "Ya Allah, mudah-mudahan lapangkanlah dan panjangkanlah kesabaran kami dalam menjaga titipan-Mu."

Dan berikut ini artikel bagus seputar tantrum sebagai panduan jika anak-anak mulai 'bertingkah...'

Dikutip dari sini
Jangan Salah Merespons Jika Anak Temper Tantrum
Ditulis oleh Bidang PPA Fahima
Wednesday, 25 July 2007
ORANG tua yang memiliki putra-putri usia balita, mungkin pernah mengalami mendapat reaksi yang tidak diduga dari putra/putri Anda ketika keinginannya tidak dipenuhi, seperti saat ia minta dibelikan mainan tetapi Anda menolaknya, tiba-tiba ia langsung menangis keras-keras sambil melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Anda tentu merasa kesal dan marah. Namun semakin Anda memarahinya, tangis si anak semakin menjadi-jadi dan Anda pun semakin bingung menghadapi sikapnya.

Sikap anak dengan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol seperti tersebut di atas, dikenal dengan istilah "temper tantrum". Temper tantrum (untuk selanjutnya disebut Tantrum) umumnya terjadi pada anak usia 2 sampai 5 tahun. Tantrum terjadi disebabkan karena anak belum mampu mengontrol emosinya, juga belum mampu mengungkapkan amarahnya secara tepat. Tantrum dapat termanifestasi dalam berbagai perilaku, seperti menangis keras-keras, berteriak-teriak, melempar-lemparkan barang, membentur-benturkan kepala, membanting pintu, dan sebagainya.
Tantrum biasanya terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", yaitu anak-anak dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Mudah terprovokasi serta mudah marah-marah
- Memiliki kebiasaan tidur, makan, buang air besar tidak teratur
- Lambat beradaptasi terhadap perubahan
- Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru
- Sulit dialihkan perhatiannya
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tantrum, di antaranya :
1. Tidak tercapainya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu.
Anak-anak usia balita, umumnya memiliki keterbatasan berbahasa. Pada saat ia ingin mengungkapkan sesuatu dengan "bahasanya", orang tua tidak mengerti. Kondisi ini memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tantrum. Atau, pada saat anak minta sesuatu dan orang tua menolaknya, maka mungkin saja anak memakai cara tantrum untuk mendapatkan keinginannya.
2. Anak merasa lelah, lapar atau sakit.
3. Anak merasa terkekang dan stres.
Anak-anak yang aktif, membutuhkan ruang yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil misalnya (dan berarti untuk waktu yang lama ia tidak dapat bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah dengan cara tantrum.
4. Pola asuh orang tua.
Pola asuh orang tua terhadap anaknya, juga berperan sebagai penyebab timbulnya tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Selain itu orang tua yang mengasuh anaknya secara tidak konsisten, juga bisa menyebabkan anak tantrum. Misalnya orang tua yang tidak punya pola yang jelas kapan ingin menghukum atau selalu mengancam pada anak. Akan menghukum , tetapi tidak pernah menghukum. Akhirnya anak menjadi bingung dan menjadi tantrum ketika orang tuanya benar-benar menghukum.
Untuk mencegah terjadinya tantrum orang tua sebaiknya mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa akan muncul tantrum pada anak.
Selain mengenali kebiasaan-kebiasaan anak, untuk mencegah terjadinya tantrum, orang tua pun perlu introspeksi terhadap cara/pola mengasuh anak. Apakah orang tua bertindak terlalu melindungi (over protective) dan terlalu melarang terhadap sekian banyak kegiatan anak? Atau apakah anak terlalu dimanjakan? dll. Jika orang tua sudah bisa melakukan introspeksi tentang cara mengasuh anak, maka kondisi tantrum bisa dicegah. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak, juga sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orang tua sebaiknya jangan berdebat dan berargumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orang tua hendaknya menjaga agar anak selalu melihat bahwa orang tuanya selalu rukun dan sepakat.
Sebagian ahli perkembangan anak menilai tantrum merupakan perilaku yang masih tergolong normal dan merupakan bagian dari proses perkembangan fisik, kognitif, serta emosi anak. Episode tantrum pun pasti berakhir.
Kendati demikian ada beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku tantrum. Di antaranya anak bisa mengekspresikan individualitasnya, independensinya, dan berusaha mengeluarkan cara marah dan frustasi untuk membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Walaupun dalam tantrum ada nilai positifnya, namun bukan berarti perilaku tantrum berkuasa (dengan selalu mengabulkan keinginan anak pada saat ia tantrum) atau orang tua menyikapi tantrum anak denga hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan. Karena dengan memarahi atau mengasarinya, orang tua malah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif. Jika keliru menyikapi tantrum, berarti orang tua telah kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi normal (seperti rasa marah, takut, jengkel, dll) secara wajar dan tepat, sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Jika kita sudah berusaha mencegah agar tidak terjadi tantrum, namun ternyata tantrum tetap terjadi dan tidak bisa dihindari, maka tindakan yang sebaiknya dilakukan orang tua adalah :

a. Tetap tenang dan menjaga emosi.
Jika tantrum terjadi, berusahalah untuk tetap tenang dan menjaga emosi, jangan sampai berteriak-teriak marah kepada anak apalagi memukul anak, karena hukuman fisik justru bisa menjadi "permainan menarik" bagi anak dan tidak mampu mendisiplinkan anak. Memukul tidak ada gunanya sama sekali, kecuali hanya memuaskan emosi Anda.

b. Pastikan segalanya aman.
Jika tantrum terjadi (baik di rumah maupun di luar rumah), pindahkan anak ke tempat yang aman untuk melampiaskan emosinya, dan jauhkan anak dari benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika si anak yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama tantrum anak berusaha menyakiti teman atau orang tuanya sendiri, jauhkan anak dari teman-temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.

c. Tidak mengacuhkan tantrum anak.
Selama tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan tantrumnya, karena anak tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan tantrum seperti itu malah biasanya akan semakin meningkatkan intensitas tantrum si anak. Cara yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orang tua tidak berusaha menghentikannya dengan bujuk rayu atau paksaan-paksaan.
Jika perilaku tantrum dari menit ke menit bertambah buruk dan tidak selesai-selesai peluklah anak dengan rasa cinta. Namun, jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan rasa cinta karena Anda sendiri merasa kesal, minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Yang penting adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orang tuanya ada dan tidak menolaknya.
Saat tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Jika tantrum terjadi karena anak menginginkan sesuatu, tetap jangan diberikan keinginannya. Hal ini akan menunjukkan kepada anak bahwa orang tuanya tidak dapat dimanipulasi. Tetap berikanlah rasa cinta dan rasa aman kepada anak.
Bila orang tua ingin mengajarkan sesuatu atau memberikan nasihat jangan dilakukan setelah tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang terang dan nyaman. Saat orang tua dan anak sedang bergembira, agar anak pun dapat dengan senang mendengarkan nasihat-nasihat orang tuanya***
Sumber: Pikiran Rakyat Cyber Media