Wednesday, September 24, 2008

8 Bintang untuk Laskar Pelangi The Movie


Siapapun penyuka Novel Laskar Pelangi pasti tidak sabar menantikan filmnya. Termasuk saya yang sudah jauh-jauh hari berkasak kusuk mencari undangan Gala Premierenya, yang diadakan 23 September di FX Atrium Jakarta. Maklum nonton versi gala premierenya tentunya lebih mantaff mbooii (demikian istilah Mahar). Karena semua awak yang berkecimpung dalam film itu hadir. Tak terkecuali sang empunya novel, Andrea Hirata. Namun sayang, begitu undangan di tangan, saya harus merelakan diri untuk tidak hadir. Karena pusing kepala yang datang tanpa kompromi. Ditambah acara yang berlangsung malam sekali, jadi saya malas kalau harus sampai rumah dini hari.

Rejeki memang tidak kemana. Besoknya, saya mendapat lagi undangan nonton film LP. Kali ini judulnya Special Premiere for Special Friends, 24 September di Blitz Megaplex Grand Indonesia jam 18.30. Begitu selesai buka di kantor, kami (saya, teman2 kantor dan seorang teman kuliah) langsung kabur ke grand Indonesia sebelum jalanan macet.

Apakah filmnya sudah memenuhi harapan pembaca novelnya ?

Film dibuka dengan adegan Ikal dewasa yang terantuk-antuk dalam bis tua dalam perjalanan menuju desa Gantong, Belitong. Kemudian frame pun beralih ke Ikal kecil yang siap untuk masuk sekolah di hari pertama. Dan munculah wajah 10 Laskar Pelangi yang pemerannya merupakan putra daerah Belitong asli. Narasi yang dibacakan Ikal dewasa pun bergulir. Miris dan sarkastis. Menggambarkan ironisnya kehidupan sosial ekonomi rakyat melayu di kawasan nan kaya timah tersebut.

Angkat jempol untuk Miles yang detail dalam settingnya. Sekolah reyot SDN Muhamadiyah dihadirkan dalam bangunan lapuk dimakan usia. Hingga foto-foto tua yang terpampang dalam ruang kepala sekolah. Demikian juga keindahan panorama Belitong, dengan Pantai Lengkuas dan batu-batu granit yang menjulang.

Kekaguman tentu saja diarahkan pada 10 Laskar Pelangi. Terutama yang menonjol adalah pemeran Lintang, Mahar, dan Kucai. Ikal, walaupun sebagai tokoh sentral, aktingnya kurang merebut hati. Meski bisa dikatakan aktingnya lumayan bagus.

Salut untuk Ikranegara yang jelas sekali menguasai perannya sebagai Pak Harfan. Adegan saat membacakan kisah-kisah Rasul benar-benar sesuai harapan saya.

Namun sayang, Cut Mini sebagai Bu Mus, masih belum tampil maksimal. Ada beberapa adegan yang diharapkan bisa menyedot emosi penonton, masih terasa datar.

Yang menjadi ganjalan saya adalah kehadiran Tora Sudiro yang sudah over exposed untuk ditampilkan sebagai kepada SDN Timah. Tapi mungkin atas nama industri, kehadiran Tora diharapkan menjadi salah satu pendongkrak film ini. Pilihan pada Rieke Diah Pitaloka, Jajang C Noer, Mathias Muchus juga mengesankan tidak ada alternatif pemeran lain. Yang jelas terasa ‘mengganggu’ bagi saya adalah akting Rieke dan Jajang yang menurut pendapat saya lebih baik dihilangkan. Tidak membumi ! Macam bermain teater saja.

Harus diakui bahwa pasti tidak gampang untuk mengangkat novel LP yang tebal itu dalam film berdurasi 2 jam. Di Film LP, Salman Aristo dan Riri Riza mampu meringkasnya tanpa kehilangan esensi dari novel. Dan memunculkannya dalam dialog-dialog yang cerdas. Khusus untuk Salman Aristo, menurut saya ini pencapaian tertingginya dalam urusan penulisan script. Yang memaksakan adalah cerita tentang Ikal yang jatuh cinta dengan Aling, anak tukang kelontong. Dalam novel, episode ini mustinya ada saat Ikal SMP alias saat masa puber. Namun dalam film, dijejalkan dalam frame saat Ikal masih SD. Jadi kesannya kurang patut bagi seorang anak SD yang sudah mengalami ‘cinta-cintaan’. Apalagi digambarkan secara detail dalam gerak slow motion. Walaupun diakui saat adegan itu termasuk kocak dan cerdas. Dimana Mahar menyanyikan lagu Seroja, diiringi kawan-kawan yang lain. Aih… melayu dan mendayu.

Ada masa-masa saat saya merasa kelelahan dan dilanda sedikit kebosanan pada pertengahan jalan film. Dimana alur terasa lambat dengan dialog yang tidak terlalu penting. Untunglah pada seperampat akhir film, emosi kembali naik, hingga mencapai klimaksnya.

Adapun untuk soundtracknya, Nidji dengan apik menyuguhkan lagu Laskar Pelangi. Salut untuk Nidji dengan musik yang sederhana, tanpa hiruk pikuk elemen elektronik, yang menjadi ciri khasnya, mampu meramu lagu yang cepat dicerna kuping dan hati.

Malangnya justru pada ilustrasi musik yang dihasilkan Aksan Syuman dan Titi Syuman. Meski pilihan scoringnya tepat tapi kurang ‘membingkai secara utuh’. Dibeberapa adegan yang membutuhkan ilustrasi, justru kering kerontang.

Overall, film Laskar Pelangi ini sangat layak dan patut untuk ditonton. Tidak mengecewakan para pembaca fanatik novelnya. Menurut saya, bolehlah score 8 bintang !

Tuesday, September 23, 2008

Sale Sale Sale

Teman di kantor mengumumkan adanya sale gede-gedean. Serta merta kami yang sensitif dengan kata sale menyambut dengan suka cita. Maka meluncurlah kami belima, empat ibu ‘brisik’ dan satu pria yang ‘brisiknya’ melebihi para ibu-ibu tersebut dengan sebuah taxi ke kawasan Sudirman. Begitu masuk ke lobby gedung tempat berlangsungnya sale, kami sudah disambut dengan bejibunnya orang yang siap naik ke lantai 26.

Setelah menunggu sesaat, kami pun masuk ke bilik lift yang langsung dijubeli orang-orang. Begitu keluar, alamak, hampir kami tidak bisa keluar lift karena tertahan oleh orang-orang yang berdiri didepan lorong lift. Ada apakah gerangan ? Rupanya di lantai 26 itu orang-orang sudah berduyun-duyun antri untuk masuk ke ruangan sale. Satu teman yang sedang hamil memutuskan untuk tidak ikut masuk karena takut berdesak-desakan. Ya sudah. Akhirnya tinggal kami berempat berjibaku berdiri dalam antrian. Merambat sedikit demi sedkit. 15 menit berlalu, akhirnya giliran kamilah masuk.

Lebih alamak lagi, rupanya suasana didalam tidak kalah heboh. Puluhan orang bersemangat mengaduk aduk kotak tas, sepatu, ikat pinggang. Baju-baju aneka model yang tergantung. Belum deretan jam tangan beragam bentuk yang berjejer dalam kotak kaca. Saya langsung mengarahkan pandangan ke bagian pakaian anak-anak. Celana panjang, ya saya mencari celana dan kaos untuk Bagas dan Sekar. Aduk punya aduk, rupanya saya tidak mendapatkan apa yang saya cari. Ukuran yang besarlah. Harga yang masih dalam bilangan ratusan ribu deh (meski judul diskonnya up to 70% sale).

Peluh sudah menggerumbul di dahi. Kepala sudah berat sebelah alias migraine. Saya sudah tidak tahan, dan yang lainnya pun ternyata sama. Akhirnya kami menyerah. Kami memutuskan keluar. Seorang teman yang bermaksud membeli satu buah tas, terpaksa mengurungkan niatnya setelah melihat antrian di kasir yang ajubilee. Jadi dengan tangan hampa kami pulang.

Meski sedikit kuciwa, ada perasaan lega. Karena terhindar dari aksi impulsive untuk berbelanja. Kalau tidak terjaga, uang THR bisa menguap entah kemana. Padahal masih banyak pengeluaran yang menuntut segera untuk ditunaikan. Kiriman buat orang tuan, gaji tahunan, bonus dan ongkos mudik si mbak, zakat mal, dan banyaaaak lagi.

Friday, September 19, 2008

Satu Kata Untuk Saya

Seorang teman mengirimkan YM kepada saya isinya adalah sebagai berikut:

"Teman...gambarkan aku dengan 1 kata. hanya 1 kata. Kirim jawabannya padaku lalu kirim pesan ini ke teman2mu dan lihat jawaban aneh dan mengagumkan tentangmu. Bales ya, karena ini sangat seru"

Hmm saya menulis apa ya terhadap si teman ini. Saya pun langsung tuliskan, calm. Ya pembawaannya memang kalem, itulah gambaran umum tentangnya.

Wah saya jadi tergelitik untuk meneruskan pesan itu ke teman-teman di YM, Sreet, dalam sekejap instant message pun terkirimkan. Wah jawaban apa ya yang bakal saya terima. Dag dig dug jadinya. Dan dalam hitungan detik, jawabannya pun langsung berdatang. Mau tahu jawabannya apa ?

Jawa
Majalah
Manis
Baik
Brave
Simple
Kreatif
Optimistic
Keukeh
Lembut

Ada tiga jawaban untuk kata Jawa. Saya pun merespon salah satu pengirim kenapa dia mengirimkan kata jawa. Dari cara ngomongnya jelas berlogat jawa, katanya. Hmm, keberadaan saya sebagai orang Jawa totok memang tidak bisa dibasuh-basuh meski sudah belasan tahun bergulat di kota Jakarte ini.

Yang menarik, teman yang menjawab majalah. Kenapa ? Karena ruanganmu penuh dengan tumpukan majalah. Saya pun terkekeh. Namanya juga Media Director. Sebuah jabatan yang saya tasbihkan buat saya sendiri, biar kelihatan keren.

Keukeh ??? Jawaban ini saya terima dari bos saya. Mungkin saya persistent kalau sudah ada maunya kali ya.

Dari semua instant message yang saya kirimkan, ternyata saya belum terima jawaban dari suami. Setelah didesak, dia beralasan bahwa tidak bisa menulis hanya satu kata saja. Setelah didonder, akhirnya dia pun menyerah.

Mau tahu jawabannya ?

“Nggemesin!”

Halah….


Anyway, terimakasih buat teman-teman yang sudah berpartisipasi dalam kuis tidak penting ini. Tapi sangat membantu menghilangkan kantuk di siang Ramadhan.