Saturday, July 31, 2010

From A Weekend Mommy To A Fulltime Mommy

Hidup sering menyajikan paradok yang unik. Perasaan nih, baru kemarin saja saya merasa menjadi bintang utama, sehingga saya tasbihkan diri saya dalam episode “My one-day-of-fame. Bos-bos saya yang baik hati, rekan-rekan kerja yang saya cintai di kantor, melepas saya dalam perpisahan yang mengharu biru. Mereka memberikan kejutan berupa video yang tak terlupakan. Aah, mengingatnya kembali, saya merasa mabok. Sedikit mirip dengan maboknya cinta monyet dulu.

Dan kini, dalam rentang jarak ribuan kilo dengan perbedaan waktu 5 jam, saya menekuri diri. Mungkin efek jet lag dengan jam biologis tubuh yang belum teratur, membuat saya seolah-olah seperti handphone yang kurang kuat sinyalnya. Belum lagi lingkungan yang baru, bau-bauan yang baru, dan status baru. Aha…ya status baru.

Setelah 13 tahun menjadi wanita karier (halah..) di perusahaan multinasional yang penuh dengan gemebyar aroma selebritis. Kini saya membulatkan tekad untuk lepas haluan, dalam karier, menjadi a full time mother (istilah kerennya), atau wanita muslimah yang istiqomah dalam memegang amanah rumah tangga seperti halnya Fatimah Ra, putri kanjeng Nabi Muhammad SAW (istilah agamisnya…amien).

Maka di tanah Eropa ini, tempat dimana semua mimpi bermuara, saya bergelut sehari-hari dengan memasak, mandiin anak, nyuapin anak, cucian, setrikaan, mengosek wc dan teman-temannya. Bercandanya anak-anak yang berbuntut teriakan dan tangisan menjadi lecutan yang kalau tidak pintar memanage bisa menguras energi. Me-Time menjadi sebuah luxury bagi saya. Bahkan untuk ke WC atau mandi sekalipun, karena kedua krucil akan mengikuti dan kadang menggedor pintu, membuat saya tidak tenang dalam melepas hajat. *keluh*

Akankah saya lantas menjadi nelangsa…tunggu dulu sampai saya menemukan pemadangan diluar sana. Seorang perempuan berambut blonde, sebaya saya, menaiki sepeda onthel. Dibelakang sepeda itu tergantung keranjang berisi dua anaknya yang umurnya sekitar 3 atau 4 tahun. Diboncengannya tersampir keranjang belanjaan. Si perempuan itu menganyuh sepedanya seolah tanpa beban.

Lain waktu saya membawa anak-anak ditaman, dan menemukan seorang ibu muda yang membawa anaknya yang baru bisa berjalan. Anak itu tergelincir dan jatuh. Saya dengan sedikit panik berniat menolong. Lantas apa kata si ibu itu, “geen problem (ga masalah),” katanya dengan tampang santai.

Atau disatu waktu, saya mengintip dari lantai dua tempat tinggal saya. (Sst, ini habit jelek bawaan dari kampung yang bawaannya pengen tahu urusan orang). Meneropong dari jendela kecil di kamar mandi keadaan lingkungan sekitar, dan saya lihat ibu-ibu yang sedang membolak balik jemuran atau memotong rumput.

Aah, saya tidak sendiri. Hampir semua orang di negeri Van Oranje ini pun melakukan hal yang sama. Masuk dalam jajaran negara dengan tingkat kualitas hidup terbaik tidak lantas membuat warganya berleha-leha. Hampir sebagian besar melakukan urusan domestik sendiri, termasuk urusan mengosek wc. Maklum sdm mahal, membuat apa-apa harus dilakukan sendiri. Hidup mandiri tanpa keluh kesah. Dus…geen problem!

Saya jadi ingat kata-kata dari tetangga seperantauan yang tinggal dilantai bawah yang bikin hati mak nyes,
“Ingat mbak, ntar di akhirat itu ga ditanya soal karir kita, tapi gimana anak-anak kita dan rumah tangga kita lho,”. Ah si Mba tetangga tahu saja kata hiburan yang tepat.

Disclaimer :
- Notes ini dibuat dengan suasana beberapa hari setelah kedatangan di negeri Van Oranje. Saat ini penulis sudah mulai beradaptasi dengan kondisi mental dan fisik lumayan stabil.
- Semua perempuan baik berstatus ibu rumah tangga maupun wanita karir sama mulianya. Semua itu adalah pilihan, Let’s do the best !

No comments: