Awalnya saya malas
untuk menonton film ini. Maklum beberapa kali menonton film Indonesia,
ujung-ujungnya misuh-misuh keluar dari bioskop. Sampai akhirnya Tedi, teman
kantor, meyakinkan saya untuk menonton.
“Bu, ini yang main
Oka Antara lho ! Kita sebagai fans Oka, harus mendukung dia dalam film apapun,”
bujuk Tedi.
“Gini deh, aku
bayarin nontonnya!” rayu Tedi lagi, melihat saya masih belum bergeming dari
ruangan.
Dan meluncurlah
kita ke Bioskop Metropole pada
Jumat sore, 24 Juli kemarin.
Saya tidak tahu ini
film apa. Sutradaranya siapa, produsernya siapa ? Pokoknya ini filmnya Oka
Antara. He he maklum saya memang menyukai aktingnya. Dalam kamus saya, di Indonesia saat ini hanya ada 3 pemain
laki-laki terbaik : Oka Antara, Reza Rahardian dan Dwi Sasono. Titik !
Saya menikmati film
ini tanpa ekspetasi. Cerita dibuka dengan Deddy Sutomo yang memerankan tokoh
bernama Mahmud, seorang saleh yang berprofesi sebagai pedagang beras. Deddy
Sutomo yang terakhir kali saya tonton aktingnya dalam serial Rumah Masa Depan
di tahun 80-an, tampak mumpuni memerankan perannya sebagai Mahmud, yang hidup
berdua dengan anak perempuannya bernama Halida (Erythrina Baskoro).
Beberapa menit
berlalu, saya mulai tidak sabar menanti kemunculan Oka Antara. Saya tengok Tedi dan memastikan dia masih menonton.
Karena biasanya itu bocah langsung merem kalau sudah di dalam bioskop.
Daaaan yang
ditunggu pun muncul. Dengan cambang dan jenggot berantakan, Oka muncul.
Aktingnya cool, santai, dan tentu saja natural laiknya dalam film-film
sebelumnya. Dia memerankan tokoh Heli. Berbeda dengan Mahmud dan Halida yang
saleh, tokoh Heli ini digambarkan sebagai pemuda aktivis yang slengekan, yang
tidak bisa terpisahkan dari gadget. Baginya mungkin agama dan segala tetek
bengek ritualnya bukanlah sesuatu yang penting. Bahkan mungkin dia masuk
golongan agnostic, yang mempercayai Tuhan tapi bersikap apriori terhadap agama.
Baginya yang penting hidup damai dan bersikap baik terhadap sesama.
Kemunculan Heli ini
menjadi titik awal konflik film ini. Alkisah Heli terpaksa pulang ke rumah
karena harus mengurus passport utk tugas ke Nicaragua. Dalam waktu yang mepet,
dan menjelang libur lebaran, muskil untuk pengurusan passportnya bisa jadi
dengan cepat. Sementara itu Mahmud mempunyai niatan mulia untuk melakukan
perjalanan napak tilas menuju lokasi keberadaan hilal. Sebuah ritual yang biasa
dilakukan semasa muda dulu, saat dia masih mondok di pesantren. Halida seperti wasit yang berdiri
ditengah-tengah. Dia yang mengkhawatirkan kondisi kesehatan Mahmud mau
melepaskan Mahmud pergi asal ditemani oleh Heli. Sementara Heli yang punya
background hubungan tidak baik dengan Mahmud hukumnya wajib menemani Mahmud
kalau passportnya mau diurus. Di sini, tokoh Halida diceritakan bekerja di
kantor Imigrasi yang mempunyai akses terhadap pengurusan passport.
Alur cerita pun
mulai terjalin dengan baik. Ada bongkah excitement yang hinggap dalam kepala
saya. Saya pun mulai menegakkan sandaran. Bersiap untuk menikmati sebuah
perjalanan ayah dan anak. Secara garis besar cerita film Mencari Hilal ini
mirip dengan film Les Grand Voyage, besutan Sutradara Ismael Ferroukhi (rilis
tahun 2004), yang berkisah tentang perjalanan anak yang menemani ayahnya
melakukan perjalanan haji dengan mobil dari daerah Perancis Selatan. Kalau
setting Les Grand Voyage mengambil lokasi di
Eropa, Turki, Syria, Yordania, hingga Mekkah, maka Mencari Hilal
berputar di sekitar kawasan Jogjakarta.
Well, meski konsep
cerita tidak orisinal, ini bukan
sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Toh ada pepatah
“Nothing new under the sun”. Jangan nyinyir dulu sebelum menonton film ini.
Karena kita akan disuguhi oleh cerita yang apik, konflik yang riil, akting
mantap tidak hanya dari tokoh utama, tetapi juga para pemain pendukungnya. Menonton
film ini seperti melihat cermin kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini.
Bagaimana penonton dibuat mangkel dengan sikap Mahmud yang merasa dirinya
berilmu agama tinggi, dan mengganggap orang lain bodoh dan sesat. Mahmud ini
gambaran para takfiri yang gemar mengkafirkan orang lain. Memahami agama
sebagai ranah hitam putih. Halal haram. Melihat sosok Mahmud, saya jadi teringat
dengan seorang teman di Facebook yang langsung memvonis saya melakukan
blasphemy alias penistaan agama, gara-gara saya meng-share tulisan tentang
kritik terhadap pembangunan megah dan besaran-besaran kota Mekkah. Melalui
privat message, dia menghujani saya dengan berbagai tuduhan. Juga tentang
kesesatan umat muslim Indonesia. Awalnya saya tidak meladeni. Tetapi lama
kelamaan mangkel juga. Terakhir kali dia menulis pesan bahwa saya selama ini
pasti tidak tahu Al Fatihah itu apa. Olala, dibalik jidat hitam dan gamis
putihnya, dia bertindak seperti perpanjangan tangan Tuhan dan kemudian menghakimi
orang lain seenak udelnya. Tak mau berurusan dengan orang itu, akhirnya tangan
saya dengan lincah mengklik satu tombol. BLOCK.
Kembali ke Mencari
Hilal, film ini membawa saya pada suasana nostalgik masa kecil. Tone warnanya
yang sejuk menangkap gambar alam pedesaan yang menentramkan. Suasana guyub desa
yang menjadi pemandangan langka kaum urban. Langgar atau surau desa
mengingatkan saya ketika masih bocah saat sholat tarawih berjamaah. Hanya yang
membuat saya sering tercekat selama menonton film ini adalah gesture Deddy Sutomo
yang mengingatkan saya pada almarhum bapak saya di akhir – akhir masa hayatnya.
Perjalanan ayah dan
anak ini mengalir secara enak dan pas. Sesekali ada humor, ada sentilan
terhadap polah politikus. Hanya sayangnya ada scene yang membuat saya risih,
yaitu pada saat adegan umat nasrani beribadah dan segerombolan ormas Islam
membubarkannya. Terus terang ini membuat saya malu sendiri, karena memang ini
bukan sekedar adegan film belaka, tetapi nyata di masyarakat saat ini. Untung
dalam cerita ini terhibur dimana ketegangan antar umat berbeda agama bisa diselesaikan dengan baik
melalui dialog. Dan masalah bisa diselesaikan dengan baik. Meskipun terkesan
sangat instan. Tetapi hey, bukankah ini menjadi sebuah contoh bahwa dialog
antar umat beragama adalah kunci hidup damai dan penuh toleransi.
Bagaimana akhir cerita
film ini ? Apakah hilal yang dicari ketemu ? Ini menjadi tidak penting, karena
ayah dan anak ini sepertinya menemukan apa yang selama ini hilang dalam diri
mereka. Cerita film ditutup menggantung. Dan mendadak saya seperti mendapat PR
selesai menonton film ini. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba berkecamuk
dalam kepala. Misalnya bagaimana kita menjaga toleransi tetapi tetap mempunyai
jati diri. Bagaimana menjalankan ibadah secara luwes ditengah masyarakat yang
multikultur, dengan tetap berpegang pada fiqih serta secara bersamaan memahami
esensi dari syariat tersebut. Aduuh duh kok jadi serius ya.
Well ini film
memang bagus dan sangat layak ditonton. Kalaupun ada kritikan, lebih pada tata
gambar yang kadang kurang steady, goyang-goyang. Dan satu lagi, ini sih masukan
pribadi, musik latarnya masih
terlalu lengang. Seandainya musiknya latarnya diisi musisi
seperti Payung Teduh, mungkin mood film ini akan lebih terangkat. Adanya
subtitle berbahasa Inggris di film ini sepertinya persiapan untuk film ini
diikutkan dalam ajang festival film internasional. Melihat kualitas film ini,
rasanya pede untuk diadu dengan film-film negara lain. Semoga bisa mengikuti
jejak sukses film-film besutan Majid Majidi.
Oya, seperti yang
diceritakan di awal tulisan bahwa pengetahuan saya tentang film ini nol. Jadi
saya belai-belain menyimak credit titlenya, dan munculah nama-nama seperti
Salman Aristo, Komaruddin Hidayat, Haidar Bagir, Denny JA. Juga nama-nama yang
saya pernah bertemu secara personal seperti Putut Widjanarko dan Avesina Subli.
Kudos untuk semua yang telah terlibat dalam film ini. Juga untuk sang sutradara
: Ismail Basbeth.
Tapi sayang sungguh sayang, film berkualitas bagus ini meski baru
diluncurkan, Jumat lalu hanya bisa ditemui di 3 bioskop di Jakarta. Film ini
harus bersaing dengan film seperti Ant-Man dan Terminator Genisys.
“Jadi gimana Bu,
bagus kan filmnya ?” kata Tedi dengan wajah puas. Mukanya yang bulat bersinar ceria seperti
sedang melihat hilal ketika satenya datang.
“Ya ya, bagus
bagus,” jawab saya sambil menyantap pempek megaria yang hits. Ah tapi kenapa
kecamuk di kepala masih belum hilang ya meski perut sudah diisi dengan lenjer
dan kapal selam.
No comments:
Post a Comment