Setelah minggu lalu Bagas (7) berkunjung ke Bakkersmuseum (tempat pembuatan roti) di Oosterhout, sekarang giliran adiknya Sekar (4 tahun) kunjungan wisata ke Joepie, Breda. Acara ini adalah program tahunan dari sekolah. Bagi Sekar, inilah pengalaman berpergian seorang diri tanpa orang tuanya.
Mendung tebal dan hujan rintik sudah mengawal keberangkatan ke sekolah. Menurut perkiraan cuaca, hujan bakal mengguyur sepanjang hari dengan rentang suhu 8 – 14 derajat celcius. Cuaca ternyata semendung wajah para ibu yang ikut mengantar ke sekolah. Gimana mereka makan ? Bagaimana kalau di bis tiba-tiba ingin buang air ? Dingin nggak ya disana ? Sangat jamak jika pikiran itu melintas para ibu. Semua punya pengalaman sama, melepaskan anak pertama kalinya berangkat ke suatu tempat berjarak sekitar 36 km yang ditempuh dengan bis. Dan tentu saja tanpa didampingi orang tua.
Juf Paula, guru baik hati nan ramah berkali-kali meyakinkan sebagian ibu bahwa anak-anak akan baik-baik saja. Dengan tersenyum ia mengembalikan semua titipan makanan dan minuman dari orang tua. Karena sesuai dengan surat yang sudah dikirimkan, anak dilarang dibekali apapun. Semua hal sudah ditanggung beres oleh sekolah.
Meskipun bakal ada acara khusus, tapi pagi itu berjalan biasa. Kegiatannya seperti ini. Pukul 8.30 anak-anak masuk kelas dan bermain. Jam 8.45 lonceng dibunyikan sebagai tanda anak-anak menghentikan kegiatan bermain. Semua tangan kanan terangkat ke atas dan jari telunjuk tangan kiri diletakkan di mulut. Sebagai tanda mereka tidak boleh berisik. Selanjutnya tanpa bicara, guru dan anak-anak merapikan mainan dan kertas-kertas. Kemudian masing-masing anak membawa bangku masing-masing untuk dibentuk setengah lingkaran. Lalu mereka akan bernyanyi bersama. Saya mengintip dari balik jendela kaca dan tersenyum-senyum sendiri. Dalam hati saya selalu takjub, bocah-bocah umur 4 tahunan itu berisiknya luar biasa saat bermain. Tetapi bisa dengan duduk manis saat guru memberikan arahan.
Setelah diberikan penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilakukan, dengan berbaris rapi mereka keluar kelas menuju bis besar di parkiran. Orang tua dibolehkan berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan. Dan sesuai jadual, tanpa acara molor, berangkatlah bocah-bocah itu. Beberapa ibu terlihat matanya berkaca-kaca ketika bus sudah meninggalkan parkiran. Jam 3.45 mereka akan tiba kembali ke sekolah.
Saya pun jadi ingat bagaimana kegiatan wisata sekolah di Indonesia. Undangan berisi perincian biaya wisata yang dikirimkan ke rumah disertai tambahan note: bagi keluarga yang berminat ikut, dikenakan biaya sekian rupiah / orang. Dan ayah, ibu, kakak, adik, sampai nenek ikutan semua. Yang orang tuanya kerja, kadang diwakilkan oleh si mbak. Dan jadilah wisata sekolah menjadi wisata keluarga. Ramai, seru, tapi berisik juga ha ha. Orang tua yang tergabung dalam POMG pun tak kalah sibuk. Turut membantu mengurus transportasi, makanan, dll. Tak jarang keribetan mereka mengurus segala tetek bengek itu masih mendapatkan keluhan dari peserta misalnya bisnya tidak nyaman, makannya tidak enak, dan sebagainya.
Lain tempat lain budaya memang. Di Belanda, program wisata tidak ada pendampingan dari orang tua. Mereka belajar bagaimana menjadi team work. Satu kelas terbagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok harus bermain bersama dan saling mengingatkan jika anggotanya ada yang tidak kompak. Orang tua tidak perlu kuatir soal makanan. Makanan yang disediakan cukup dan tidak berlebihan. Itulah sebabnya mereka dilarang membawa makanan dari rumah. Kebersamaan, kemandirian, dan bersenang-senang, itulah inti dari program wisata di sekolah ini. Ah, saya tidak sabar menunggu Sekar pulang untuk mendengarkan cerita perjalanan wisatanya :)
No comments:
Post a Comment