Berhaji bagi saya
adalah urusan kesekian. Pertama, karena saya masih muda. Ngapain harus
melakukan ibadah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah tua.
Kedua, kalau ada uang lebih, akan bermanfaat jika ditanam sebagai investasi,
masukin reksadana, tabungan pendidikan, beli tanah, atau apalah yang intinya
untuk kebutuhan masa depan. Ketiga, ini ibadah yang memakan waktu panjang,
sekitar 41 hari. Kalau anak-anak ditinggal lama, siapa yang jagain ? Belum mikirin
seabrek urusan pekerjaan, yang ditinggal cuti beberapa hari saja sudah bikin
kalang kabut. Intinya ibadah haji itu ...ergh... nanti dulu ah. Belum mikirin.
Titik !
Itu dulu.
Hingga alkisah
saya membaca notes teman saya di facebook tentang cerita dia saat berhaji. Lho
dia kan seumuran saya ? Kenapa sudah berhaji ? Demikian batin saya
bertanya-tanya. Nah, ditambah lagi ada tulisan dia yang membuat saya tersentil.
Intinya adalah kalau sudah mempunyai kemampuan finasial, menabunglah untuk
pergi berhaji. Apalagi nikmat haji dikala sehat dan tubuh masih kuat.
Saya tertegun dan
hati tergelitik. Benarkah demikian ? Mulailah saya mencari-cari informasi
ibadah haji itu sebenarnya seperti apa. Kebetulan suami dan kakak mendapat
undangan Walimatul Safar (syukuran orang yang akan berangkat haji). Ada tausiah
menarik dari pembimbing haji, yakni Bapak KH Qasim Shaleh. Mungkin cara
penyampaiannya yang bagus, hingga tausiah itu sangat berkesan. Intinya adalah
kalau sudah ada kemampuan, jangan ditunda lagi. Kami sekeluarga pun berembug. Dari
segi prioritas orang tua menempati urutan teratas. Bapak saya sudah sepuh
dengan sebagian anggota badan tidak berfungsi karena stroke. Ibu saya
Alhamdulillah sehat, tetapi mempunyai masalah dengan osteoporosis di tempurung
kedua kakinya. Seandainya mereka berangkat, masing-masing harus didampingi. Secara
hitungan matematika, saat itu uang di tabungan cukup untuk berangkat 5 orang. Dengan
hati mantap, Bismillah, mendaftarlah
kami: Bapak, Ibu, suami, saya, dan kakak. Kala itu di tahun 2010, antrian haji
reguler di Depok menunggu 3 tahun. Jadi kalau tidak ada aral melintang, tahun
2013 Insya Allah kami berangkat ke tanah suci.
Semua Adalah
Kehendak Allah
Kami sudah
membayangkan indahnya nanti melakukan perjalanan haji satu keluarga. Kalau
menonton berita di TV, banyak jamaah haji yang sudah sepuh tersesat di jalan,
atau melakukan aktivitas dengan harus dibantu orang lain. Orang tua kami Insya
Allah akan tenang beribadah, karena anak-anaknya siap mendampingi. Tapi itu
sekedar harapan. Di tahun kedua masa tunggu, yaitu 27 Januari 2012, bertepatan
dengan suami saya ulang tahun, Bapak wafat. Menyesal dan kehilangan sudah
pasti. Tetapi kemudian kami berbesar hati, bahwa orang yang sudah berniat haji,
Insya Allah tercatat amalannya.
Singkat cerita
tahun 2013 kami berempat Alhamdulillah berangkat menjalankan rukun Islam yang
kelima ini. Dan harus diakui, inilah ibadah yang menguras seluruh energi,
mengaduk segenap emosi, menumpulkan ego kita sebagai manusia. Membolak balikkan
semua paradigma tentang manusia dan kehidupan.
Meneguhkan bahwa kematian itu sebenarnya tidak berjarak, dan kepastian
setelah kematian ada kebangkitan, hingga hari perhitungan kelak.
Kalau flash back
setahun silam, akhirnya yang bisa diungkapkan adalah rasa syukur. Rukun ini
sudah kami tunaikan. Semuanya Alhamdulillah dimudahkan Allah. Apa yang kami
hadapi itu jauh dan sangat jauh lebih mudah dari orang-orang lain. Coba kalau
menilik cerita inspiratif haji. Ada seorang buruh tani di Blitar dengan
penghasilan 10 ribu sehari, menabung selama 20 tahun untuk bisa berangkat. Atau
loper koran di Depok yang perlu 30 tahun agar tabungannya mencukupi. Jadi
memang benar tulisan teman saya itu, selagi masih muda dan sehat, jika
mempunyai kelonggaran rejeki, niatkan menabung untuk berhaji. Insya Allah, segala sesuatunya akan
dimudahkan.
Note:
Thanks Yunita
yang sudah menuliskan cerita berhajinya di notes FB. Ini semacam legacy, yang
akhirnya kuteruskan, dengan menorehkan catatan perjalananku, meski harus
menunggu setahun lamanya.
Photo Credit :
Mbak Ima